Pasukan Thailand di Kompleks Te Meun Thom di Provinsi Surin. Foto: Channel News Asia
Muhammad Reyhansyah • 21 August 2025 11:15
Bangkok: Meski suara tembakan di perbatasan Thailand–Kamboja telah senyap selama tiga pekan terakhir, kedua negara masih terlibat dalam perang kata-kata yang sengit. Tuduhan, propaganda, dan perang opini publik terus digulirkan demi mendapatkan simpati internasional sekaligus memperkuat dukungan di dalam negeri.
Dikutip dari BBC, Kamis, 21 Agustus 2025, banyak pengamat menilai Thailand kalah dalam pertempuran informasi ini. Kamboja dinilai lebih gesit, agresif, dan cerdas dalam memanfaatkan media, sementara pernyataan resmi dari Bangkok kerap dianggap kaku dan kurang terkoordinasi.
Ketegangan kembali meningkat sejak 24 Juli, ketika Kamboja menembakkan roket ke wilayah Thailand dan menewaskan sejumlah warga sipil. Militer Thailand membalas dengan serangan udara.
Namun, Kamboja melanjutkan ofensif di dunia maya. Media sosial dan saluran berita berbahasa Inggris yang dikuasai negara menyebarkan klaim-klaim, termasuk jatuhnya jet F-16 Thailand dan penggunaan gas beracun. Belakangan terbukti gambar-gambar itu berasal dari konflik di Ukraina dan kebakaran hutan di California. Thailand berusaha membantah melalui data resmi, namun pesan yang disampaikan dinilai tidak mampu menandingi narasi emosional yang dibangun Kamboja.
Situasi diperumit oleh politik domestik Thailand. Kebocoran percakapan pribadi antara Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dengan mantan pemimpin Kamboja Hun Sen, yang dipublikasikan oleh Hun Sen sendiri, menimbulkan krisis politik. Perdana Menteri Thailand akhirnya diskors oleh Mahkamah Konstitusi, melemahkan pemerintah di tengah krisis perbatasan.
Di sisi lain, Hun Sen yang kini secara formal menyerahkan kekuasaan kepada putranya Hun Manet tetap memainkan peran dominan. Ia menggunakan media sosial untuk menampilkan dirinya sebagai komandan perang, memperkuat citra nasionalis Kamboja.