Pengamat Sebut Putusan MK Banyak Ubah Peta Politik di Pilkada 2024

29 August 2024 13:36

Jakarta: Di ujung masa pendaftaran Pilkada 2024, sejumlah partai politik (parpol) menjagokan kader terbaiknya untuk maju dalam kontestasi Pilkada 2024. Pengamat Politik Ray Rangkuti menyebut Putusan Mahkamah Kostitusi (MK) yang diputuskan pada Selasa, 20 Agustus 2024 mengubah banyak peta politik di Pilkada 2024. Hal tersebut karena banyaknya pasangan calon (paslon) baru yang muncul di tingkat kabupaten/kota.
 
“Putusan MK semacam berkah yang menimbukan gairah, harapan, dinamika baru, ini seperti air bah. Kalau putusan MK keluar lebih cepat mungkin konstelasinya akan lebih beragam,” ungkap Ray Rangkuti dalam program Breaking News, Metro TV, Kamis 29 Agustus 2024.
 

Baca: Calon Kepala Daerah Lebih Beragam Berkat Putusan MK

“Apabila putusan MK keluar lebih cepat, Salah satunya hal positif yang akan terjadi adalah mencegah adanya kotak kosong, kondisi terkini, sekalipun ada putusan MK di beberapa daerah masih melawan kotak kosong, khususnya di tingkat kabupaten/kota,” sambungnya.
 
Sejumlah nama muncul di Pilkada Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, hingga Sumatera Utara. Ray menyebut setelah putusan MK dimunculkan, kandidat dengan nama-nama baru ikut bermunculan.
 
“Sebelum adanya putusan MK, hampir di 500 daerah ini maksimal calon cuma tiga. Umumnya dua paslon atau kotak kosong, setelah putusan MK mulai muncul kandidat yang jumlahnya meningkat sehingga mengurangi kotak kosong,” ujar Ray Rangkuti.

Apa Bahayanya Kotak Kosong?

Mekanisme kotak kosong adalah langkah alternartif bagi kontestasi pilkada yang hanya memiliki calon tunggal. Kotak kosong bermakna aturan calon tunggal dinyatakan menang juka memperoleh 50?ri total suara sah. Jika suara kotak kosong lebih tinggi, maka KPU akan menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pilkada serentak periode selanjutnya.
 
Ray Rangkuti menyebut kotak kosong memberi bias yang buruk terhadap esensi adu gagasan dalam pilkada. “Orang akan mengatakan, ngapain sih pilkada-pilkada? Ujung-ujungnya akan seperti 2014, sudahlah pilih saja di DPRD ngapain lagi pakai pilkada? Dan akan sangat menurunkan kualitas demokrasi,” jelas Ray Rangkuti.
 
“Tidak perlu lihat secara umum, warga Jakarta contohnya merasakan kebuntuan itu. Figur-figur seksi dijauhi oleh partai politik. Bisa dikatakan pilkada kinisebetulnya tidak sesuai dengan pilkada publik,” imbuhnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Diva Rabiah)