Bedah Editorial MI - Jangan Masuk Angin di Masa Tenang

25 November 2024 10:51

Proses pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak kini memasuki masa tenang kampanye. Masa tenang diharapkan menjadi jeda bagi masyarakat untuk bisa terbebas dari hiruk-pikuk spanduk dan janji para kandidat. Masa yang digunakan untuk merenungkan kembali siapa kandidat yang layak mereka pilih dan mereka yakini membawa kebaikan bagi mereka.

Hingga sehari sebelum pemungutan suara pada Rabu (27/11), masyarakat diberi kesempatan untuk menghela napas dengan tenang. Sembari merenungkan beragam orasi, janji, maupun ide (kalau memang ada) yang ditebar para calon kepala daerah. 

Tentunya, pemilih juga memiliki rasionalitas masing-masing dalam menentukan pilihan. Bisa saja ada yang merasa cukup puas dengan calon yang membagikan sembako di bawah meja.

Atau, ada juga yang hakulyakin dengan janji setinggi langit para kandidat. Bisa juga, pemilih akan memilih kandidat yang memiliki hubungan kekerabatan karena nenek moyang yang sama. 

Apapun alasannya, pemilih bebas menyerap semua informasi untuk menentukan pilihan. Dan, semuanya bisa berlangsung tanpa ada tekanan dari pihak mana pun. 

Masa tenang, atau apapun istilahnya, adalah praktik yang lazim dan menjadi tradisi untuk diterapkan di pemilu modern. Di Indonesia, masa atau minggu tenang sudah dikenal sejak era Orde Baru. Pada masa itu, partai politik atau parpol dilarang berkampanye, kecuali golongan yang oleh penguasa ketika itu tidak pernah disebut sebagai partai.

Sejak reformasi, masa tenang memang berlaku secara umum. Tidak ada golongan ataupun partai yang mendapatkan pengecualian untuk bisa beraktivitas secara bebas selama masa tenang. 

Bagi peserta pemilu, hormatilah hak publik untuk mendapatkan ketenangan. Jangan malah meningkatkan tensi atau intimidasi politik menjelang pemungutan suara. 

Masa tenang juga bertujuan untuk menghindari politik tidak etis atau praktik politik ilegal. Seperti, aksi bagi-bagi uang alias 'serangan fajar' dan kampanye hitam terhadap lawan politik saat . Masa tenang juga menjadi momentum untuk menciptakan level yang setara. 

Semua kandidat memiliki posisi dan akses yang sama. Calon dengan sumber finansial melimpah atau dengan dana cekak akhirnya memiliki keterbatasan yang sama. Seperti, sama-sama tidak bisa lagi memobilisasi penyebaran spanduk maupun alat peraga. 

Hanya, sebaik-baiknya sistem, semua tergantung pada manusianya. Yang mematikan bukanlah pistol, melainkan orang di belakang pistol itulah yang berbahaya. 

Persoalan klasik dalam pilkada selama ini adalah persoalan calon yang merupakan pejabat yang berkuasa alias petahana dan ketidaknetralan aparat negara. 

Berbagai daerah sudah memperlihatkan kelakuan pejabat petahana yang merotasi atau memutasi pejabat daerah di awal masa pilkada. Seakan pesan dengan bahasa terselubung, pilihlah calon petahana kalau karir mau selamat. Tentunya, publik berharap hal itu tidak benar adanya. 

Masa tenang juga bukan berarti masa bersenang-senang. Terkhusus bagi aparat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga di jajaran terbawah. Masa tenang bagi masyarakat sebenarnya menjadi masa tegang bagi pengawas. 

Masa tenang merupakan tahapan krusial yang kerap diwarnai potensi pelanggaran. Jajaran Bawaslu juga jangan berpuas diri dengan menertibkan spanduk, baliho, dan alat peragam kampanye (APK) lain yang terpampang di pohon maupun tiang listrik.

Bawaslu harus pasang badan untuk melindungi masyarakat agar bisa menjalani ketenangan dan terbebas dari intimidasi maupun 'serangan fajar'. Jangan sampai Bawaslu ikut-ikutan masuk angin karena berjaga di kala fajar.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Nopita Dewi)