Suasana hunian tetap (Huntap) Bumi Semeru Damai (BSD), bagi warga terdampak erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Metrotvnews.com/ Amaludin
Surabaya: Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai salah satu wilayah di Indonesia dengan sejumlah gunung aktif yang rentan terhadap bencana erupsi gunung berapi. Salah satunya adalah Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan puncak ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim menyebut erupsi Gunung Semeru terjadi setiap tahun. Bahkan erupsi Semeru seakan terjadwal sejak empat tahun terakhir, yakni setiap bulan Desember. Rinciannya Semeru erupsi terjadi pada 1 Desember 2020, 4 Desember 2021, 4 Desember 2022, 25 Desember 2023.
Namun erupsi yang terparah dalam empat tahun terakhir itu terjadi pukul 15.20 WIB pada 4 Desember 2021. Semeru mengeluarkan Awan Panas Guguran (APG) cukup besar setinggi sekitar 800 meter di atas puncak, yang menyebabkan tertimbunnya permukiman warga oleh material vulkanik. Total rumah rusak mencapai 1.027 unit yang tersebar di Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, serta 437 unit rumah di Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.
Lalu total warga mengungsi berjumlah 9.417 jiwa yang tersebar di 402 titik. Konsentrasi pengungsian terpusat di 3 Kecamatan, yakni di Pasirian 15 titik 1.657 jiwa, Candipuro 22 titik 3.897 jiwa dan Pronojiwo 7 titik 1.136 jiwa. Fenomena alam itu juga meregut nyawa sebanyak 54 orang meninggal dunia, 22 warga dinyatakan hilang.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Provinsi Jawa Timur, Dadang Iqwandy, menjelaskan para pengungsi APG Gunung Semeru ini sempat tinggal di berbagai titik pengungsian sekitar dua bulan. Di tempat pengungsian, mereka harus hidup bersama seperti tidur hingga mandi pun seadanya.
Meski demikian, mereka juga mendapatkan makan tiga kali sehari yang disediakan berbagai pihak mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan hingga pihak swasta. Seperti yang disediakan Dinas Sosial Provinsi Jatim melalui dapur umum lapangan. Dapur umum ini memproduksi 3.000 nasi bungkus untuk 3 kali makan yang diantarkan langsung ke tempat-tempat pengungsian. Di antaranya di SMP Negeri 1 Candipuro, SMA Negeri 1 Candipura, SD Jarit 1, SMP Negeri 2 Pasirian, Balai Desa Sumber Wuluh, dan Balai Desa Candipuro.
Bencana gunung Semeru baik yang terjadi pada 2021 maupun 2022 langsung mendapat reaksi cepat dari berbagai pihak mulai dari Pemkab Lumajang, Pemprov Jatim, hingga pemerintah pusat, serta dari berbagai pihak lainnya. Mereka bersinergi untuk mengatasi masalah para penyintas APG Gunung Semeru, seperti rasa trauma, tidak adanya tempat tinggal karena rumah rusak, pendidikan anak-anak, hingga masalah sandang pangan lainnya.
Kata Dadang, di antara yang pernah turun untuk memberikan trauma healing kepada pengungsi bencana APG Gunung Semeru khususnya anak-anak adalah dari Perempuan Bangsa. Trauma healing itu dilakukan di Pondok Pesantren Ulul Albab di Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur pada 12 Desember 2021. Trauma healing yang bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang (UNM) ini untuk mengatasi trauma berat anak-anak yang mengungsi.
Kemudian, Pemprov Jatim juga mengucurkan berbagai bantuan. Diantaranya melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim dan Dinas Sosial Jatim. Bantuan yang pernah dikucurkan adalah beras 1.000 kg, mie instan 50 karton, minyak goreng 200 liter, masker kain anak 4.000 pcs, masker kain dewasa 6.000 pcs, masker medis 10.000 pcs.
Kemudian ada juga selimut 100 pcs, kasur lipat 50 pcs, bantal 50 pcs, pakaian perempuan 50 paket, pakaian laki-laki 50 paket, air mineral 35 karton, sabun detergen 1 karton, sabun mandi 2 karton, sarden 200 kaleng, gula 200 Kg, dan terpal 50 pcs. Bantuan tersebut di antaranya disalurkan di Balai Desa Penanggal yang menjadi salah satu lokasi pengungsian.
Semburan APG Semeru selain menimbulkan kerusakan pemukiman, infrastruktur, dan fasilitas umum. Juga membuat perubahan kehidupan sosial, ekonomi, serta perubahan perilaku masyarakat. Khususnya warga Desa di Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, dan Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro.
Tak tinggal diam, pemerintah pusat pun langsung bergerak cepat untuk memulihkan kehidupan masyarakat korban terdampak erupsi Semeru, khususnya masalah tempat tinggal warga yang hancur. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun hunian sementara (Huntara), dan hunian tetap (Huntap) yang diberi nama Bumi Semeru Damai (BSD).
Kepala Desa Sumbermujur, Yayuk Sri Rahayu, mengatakan pembangunan sebanyak 1.951 huntap BSD oleh kementerian PUPR ini dilakukan di atas lahan kebun cengkeh seluas 80 hectare. Yayuk menjelaskan warga korban APG Semeru yang diterima di tempat tersebut adalah dari Kecamatan Pronojiwo, dan Candipuro.
"Adapun mereka yang berasal dari kecamatan Pronojiwo itu adalah warga dari dusun Sumbersari dan dusun Curah Kobokan. Kemudian yang berasal dari kecamatan Candipuro dari Desa Sumber Wuluh yakni Dusun Kajar Kuning, Kebonsari Utara, Kebonsari Selatan, Kamar Kajang, dan dusun Kampungrenteng. Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro juga ada. Jadi tidak full dari Curah Kobokan dan Kajar Kuning," kata Yayuk, saat ditemui Medcom.id, Senin, 30 September 2024.
Pengerjaan huntara dan huntab yang dimulai pada Januari tahun 2022 ini melibatkan berbagai pihak, di antaranya Kwartir Daerah Pramuka Jawa Timur. Mereka bahu membahu membangun huntara mulai 19 sampai 25 Mei 2022. Dalam waktu itu, pasukan Pramuka yang dikerahkan untuk bhakti sosial pada para korban APG Gunung Semeru ini berhasil menyelesaikan 50 unit huntara.
Saat ini huntara memang sudah tidak terlihat, karena pemerintah memutuskan untuk meneruskan pembangunan menjadi huntap. Konsep huntap ini menggunakan smart village yang terintegrasi. Konsep ini menerapkan pembangunan hunian tahan gempa berupa Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA), yang memiliki teknologi konstruksi knock down dan dapat dibangun dengan waktu cepat. Material yang digunakan juga merupakan produk dalam negeri berkualitas.
Total terdapat sebanyak 1.951 unit dengan type 36, dengan anggaran sekitar Rp350,55 miliar. Proyek ini dinaungi oleh Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR RI dan berhasil meraih Rekor MURI 'Pembangunan Hunian Tetap Pasca Bencana Tercepat'. Proyek berlangsung mulai 28 Januari 2022 hingga penyerahan pada 31 Mei 2022.
Pemandangan di kawasan Huntap BSD ini nampak asri dan tertata baik, bersih, dan sejuk dengan banyaknya pepohonan. Jalan-jalan terbuat dari batako terlihat cukup bagus. Lingkungan nampak asri dengan rerumputan yang tumbuh di pinggir jalan dan tanaman bunga di depan huntap yang telah dihuni para penyintas APG Gunung Semeru.
Berbagai fasilitas juga nampak begitu komplit, rumah-rumah yang berdiri di atas lahan 10×15 meter itu sudah dialiri listrik dan air. Demikian juga dengan fasilitas umum lainnya, seperti tempat ibadah, sekolahan, balai warga hingga tempat berolah raga.
Ketersediaan jaringan listrik merupakan uluran tangan dari PLN UID Jawa Timur yang mengalokasikan anggaran sebesar Rp4,8 miliar. Aliran listrik huntap APG Semeru ini disuplai dari penyulang Pronojiwo dan membutuhkan penambahan 79 tiang Tegangan Menengah (TM), 133 tiang Tegangan Rendah (TR), 3.158 kilometer sirkuit (kms) jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM), jaringan Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR) sepanjang 6,447 kms serta 7 unit gardu distribusi.
"Fasilitas di huntap ini mulai dari fasos satu sampai lima, masjid juga di masing-masing fasos juga ada masjid. Jadi tempat ibadah di sini sudah terpenuhi. Juga ada kepengurusan ipal, kandang komunal, KSM, dan sampah,” kata Kepala Desa Sumbermujur," ujar Yayuk.
Yayuk menjelaskan kandang komunal sengaja dibangun untuk kelompok masyarakat sehingga mereka bisa berternak mulai dari ternak kambing hingga sapi. Keberadaan kandang komunal ini berkat uluran tangan dan sinergi antara BNPB yang mambangun kandang komunal dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang memberikan pendampingan.
"Juga ada satu stadion di huntap ini. Juga ada faslitas lainnya, seperti PAUD, TK, SD, MTs, MAN, itu fasilitas sosial dan umum yang ada di huntap huntara ini," ungkapnya.
Berangsur Pulih dan Bangkit
Empat tahun telah berlalu, tak sedikit masyarakat setempat masih teringiang-ngiang akan kejadian itu. Salah satunya adalah Ardi Anwar Wardi, 17, salah satu warga BSD di Blok E6-1. Ia melempar senyum sembari menganggukkan kepala ketika ada orang yang melintas di depannya. Namun siapa sangka, di balik senyum ramahnya, warga Curah Kobokan ini menyimpan trauma saat kejadian erupsi APG Semeru.
"Waktu itu saya sedang tidur, tiba-tiba dibangunkan. Saya kan gak bisa jalan, jadi bingung kenapa orang-orang pada lari panik," kata Ardi.
Setelah itu, Ardi mengaku melihat awan di atas rumahnya menjadi memerah. Kepanikan mulai terasa ketika Ardi mendengar jeritan tetangga, tangisan anak-anak hingga rapalan doa-doa yang didengarnya secara jelas.
"Kemudian saya duduk di depan pintu rumah. Gak lama setelah itu, ada jemputan dari pihak kecamatan dan desa untuk mengajak segera mengungsi," ucapnya.
Sebab, lanjut Ardi, tempatnya tinggalnya, yakni Dusun Curah Kobokan dalam status berbahaya. Secepat mungkin mereka dilarikan ke tempat pengungsian terdekat. Di sinilah keluarga Ardi memulai kehidupan untuk mengamankan diri. Ada tenda darurat yang didirikan BNPB berkolaborasi dengan BPBD Jatim dan Lumajang.
Semua berjibaku memberikan layanan terbaik untuk para pengungsi. Sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) baik itu dari provinsi maupun kabupaten turut turun tangan. Ada yang membantu mendirikan dapur umum, untuk memenuhi kebutuhan logistik. Ada yang membuat sekolah darurat, saluran sanitasi, pembuangan sampah hingga bilik asmara.
Sementara Ardi dengan kondisinya yang tidak bisa berjalan, mendapatkan perbantuan khusus dari saudaranya asal Surabaya. Ia diajak mengungsi ke ibu kota Jawa Timur, Surabaya. Di Kota Pahlawan, Ardi ikut beberapa bulan saja di rumah saudaranya.
Ardi mengaku sempat diajak berobat untuk kelumpuhannya, bahkan mendapatkan hadiah kursi roda. Setelah tahu orangtuanya dapat rumah baru di Huntap BSD Sumbermujur, ia meminta pulang. Di sini, Ardi dan keluarganya memulai kehidupan baru. Membasuh luka, menghilangkan trauma.
"Selama di sini, saya senang. Lingkungannya enak, tetangganya baik-baik, sudah gak takut kalau ada erupsi. Kalau disuruh ke rumah Curah Kobokan, saya sudah gak mau karena rumahnya sudah hancur," ungkapnya.
Senada juga disampaikan Saiful Bahri, 47, warga asal Desa Sumberwuluh, merasa bahwa erupsi Semeru pada 2021 adalah peristiwa yang cukup kelam, sehingga membuatnya trauma berat. kata dia, erupsi Semeru membuatnya dipenuhi rasa ketakutan dan was-was mendalam.
"Saya saat itu tidak menyangka karena tidak ada tanda-tanda sama sekali, dan kejadian begitu cepat secara tiba-tiba gelap gulita seperti suasana malam hari. Saya merasa takut dan traumanya lebih tinggi setelah erupsi itu," kata Saiful.
Saiful bersyukur dirinya bersama keluarga selamat dari erupsi Semeru. Kini, ia tinggal di huntap Blok D1-18. Selain upaya menghapus rasa trauma, Saiful menetap di huntap ini karena ingin fokus dan bangkit menatap masa depan anak dan keluarganya.
"Yang penting saya dan keluarga sehat, sehingga bisa kembali menata kehidupan baru di tempat yang baru ini," kata bapak dua anak ini.
Seiring berjalannya waktu, kekhawatiran Saiful tentang bahaya erupsi saat hidup di huntap mulai terkikis dengan sendirinya. Saiful dan eks penyintas erupsi Semeru lainnya pun betah berada di huntap. Kini, Saiful membuka lembaran baru untuk mencari pekerjaan baru, mulai dari bertani hingga belajar berdagang.
"Dulu saya penambang pasir, sekarang usaha membuka toko kelontong, agar dapur tetap mengepul," ujarnya.
Fasilitas di huntap memang terus dilengkapi oleh pemerintah. Tetapi, masyarakat yang direlokasi dasarnya adalah mandiri. Mereka memanfaatkan setiap peluang yang ada. Dulu yang kesehariannya menjadi petani, kini berdagang.
Dengan membuka toko kelontong di samping huntap. Seperti halnya yang dilakukan Mahfud, 70, dan Misnah, 69, yang tinggal di Blok E6-1. "Saya dulu petani, di dusun yang lama di Curah Kobokan saya punya tiga petak sawah yang kalau ditotal sekitar satu hektare luasnya. Tapi karena erupsi itu sekarang di sini, sudah tua gak berani bertani di sana, kalau ada meletus lagi malah bingung," kata Mahfud.
Mahfud berinisiatif membuka toko di huntap, lantaran tak banyak warga setempat yang membuka toko seperti dirinya. "Awalnya saya lihat tidak ada toko di sini, terus saya buka. Nanti kalau kulakan itu nitip anak saya yang kerja di Lumajang (kota)," ujarnya.
Pendapatan yang diraup Mahfud dengan membuka toko bisa menghidupi kebutuhan istri dan cucunya. Di sini, Mahfud tinggal bersama Misnah dan dua cucunya, Muhammad Firmansyah, 18, dan Raisa, 4.
Mahfud mengaku dirinya tak mau terus berpangku tangan, menunggu uluran belas kasih pemerintah maupun masyarakat luar. Dengan usaha yang ditekuninya, ia berharap tidak kekurangan hidup di huntap. "Sehari bisa dapat Rp250 ribu-Rp300 ribu. Itu uangnya buat kulak lagi sama buat belanja kebutuhan makan sama bayar beberapa iuran di huntap. Seperti iuran kebersihan itu Rp5 ribu tiap bulan untuk setiap rumah, terus bayar listrik pribadi, kalau airnya gratis," katanya.
Di usia senjanya, Mahfud ingin menikmati masa tua di huntap saja sembari mengasuh cucu. Ia tidak ingin mencari risiko maupun mara bahaya di jalur merah Semeru. Meski sebenarnya benak hatinya terdalam kangen kampung halaman, dusun kelahiran, sawah dengan tanaman padi yang rimbun hingga kambing dan ayam yang berjubel di kandang. "Tapi takdir membawa kami ke sini, memulai hidup di sini. Bismillah harus dijalani dengan penuh rasa syukur di hati," pungkasnya.
Mitigasi, Siaga Bencana, dan Peringatan Dini pada Masyarakat
Erupsi Gunung Semeru telah mengakibatkan kerugian material dan immaterial yang tidak sedikit. Dana rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur, dan rumah tangga yang sebagian besar tidak memiliki perlindungan keuangan yang harus dikeluarkan pemerintah juga sangat besar.
Saat ini pemerintah terus melakukan upaya pemantauan kondisi wilayah rawan bencana. Selain itu, upaya sosialisasi juga terus dilakukan kepada masyarakat, terutama masyarakat yang masih tinggal di lereng Gunung Semeru.
Guna mencegah risiko dan kerugian akibat bencana alam, BPBD Jawa Timur melakukan serangkaian aksi. Mulai dari kesiapsiagaan sebelum bencana meliputi mitigasi bencana, pencegahan,rencana siaga, dan peringatan dini pada masyarakat.
Kepala Pelaksana BPBD Lumajang, Patria Dwi Hastiati, menyebut sebagian masyarakat pemilik huntap masih enggan untuk menetap. Oleh karena itu, kata Patria, BPBD dan pemerintah desa terus berupaya merayu masyarakat agar tinggal di huntap.
"Kita masih terus melakukan proses monitoring dan pembinaan kepada masyarakat. Memang seyogyanya tempat relokasi itu ditempati, tapi masih ada yang ngeyel balik ke tempat asalnya. Maka itu kita terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat," kata Patria.
Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Kabupaten Lumajang, jumlah warga yang tinggal di Huntap BSD sekitar 1.800 KK atau sekitar 5 ribu jiwa. Sebagian sudah ber-KTP dan memiliki KK baru, namun banyak yang belum memproses pembuatan KTP dan KK baru tersebut.
Sembari melakukan sosialisasi dan edukasi kepada penghuni huntap yang belum mau menetap, lanjut Patria, pemerintah menyiapkan hunian bak klaster perumahan minimalis ini menjadi laboratorium kebencanaan. Dipilihnya lokasi ini, lantaran tempatnya tidak termasuk zona merah Gunung Semeru. Meski ketinggiannya yang mencapai 1.478 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu lebih dekat dengan puncak gunung.
"Dulu proses awal begitu ada relokasi, pemerintah daerah mencarikan lahan untuk relokasi. Tempat itu mempertimbangkan beberapa indikator, salah satu indikator itu area yang aman. Di luar kawasan rawan bencana (status) satu, dua maupun tiga. Dulu juga ada beberapa alternatif, di Kecamatan Pronojiwo dan Candipuro. Tapi akhirnya setelah melalui proses survei oleh tim, yang paling cocok di Desa Sumbermujur," katanya.
Selain itu, Huntap BSD Sumbermujur juga sudah didesain aman dari bencana. Bangunan rumahnya diklaim anti gempa, kemudian sejumlah komponen penunjang untuk mitigasi bencana juga telah terpasang. Seperti halnya papan hijau bertuliskan 'Jalur Evakuasi' yang terpampang di tiap belokan jalan setempat, serta juga disediakan kentongan di beberapa titik.
Patria menyebut pemerintah ingin memanfaatkan kearifan lokal itu menjadi salah satu alarm bila terjadi hal-hal genting. Meski dalam waktu dekat, Early Warning System (EWS) berupa alat peringatan dini akan segera dipasang di kawasan huntap, sebagai penunjang laboratorium kebencanaan yang akan dicanangkan.
"Kita nanti mau jadikan laboratorium bencana di sana, kami juga akan memberi pelatihan masyarakat di sana untuk membuat Desa Tangguh Bencana, beberapa EWS sudah kami siapkan. Hanya saja untuk saat ini yang terpasang di daerah yang benar-benar rawan bencana, seperti di lokasi desa yang berpotensi terdampak erupsi," jelasnya.
Tak hanya itu, lanjut Patria, pihaknya juga menyiapkan program dan anggaran untuk laboratorium kebencanaan tersebut. Program yang mulai berjalan dan sudah dikenalkan ialah 'Ngeramut Tonggo'. Program ini akan diberlakukan untuk semua masyarakat Kabupaten Lumajang. Mengingat, Lumajang mempunyai 10 potensi bencana.
"Jadi program ini bertujuan untuk menumbuhkan kepedulian antar masyarakat. Sehingga mereka dapat melakukan pertolongan dini ketika terjadi bencana. Karena diketahui ada 10 bencana yang mengancam yaitu gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, banjir bandang, longsor, gelombang ekstrem dan abrasi serta kebakaran hutan," pungkasnya.
Sementara itu, Kasubid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Lumajang, Armi Najmi, menjaskan bahwa telah membentuk desa tangguh bencana. Di antaranya di Sumber Wuluh pada 2021, di Sumbermujur dan Penanggal pada 2022, dan di Supiturang pada 2022.
"Sebetulnya sebelum itu, kita sudah sering mengadakan sosialisasi kesiapsiagaan. Sekarang ini, kita juga sering mengadakan sosialisasi dan simulasi terkait erupsi gunung Semeru. Namun, untuk mengadakan simulasi itu ngelus dulu, karena warga merasa kalau ada simulasi pasti ada erupsi, gitu. Padahal kita harus latihan untuk kesiapsigaan," kata Armi.
Langkah lain adalah dengan datang ke sekolah-sekolah untuk memberikan pengetahuan pada siswa apa yang harus dilakukan jika terjadi bencana seperti erupsi dan gempa bumi. Bahkan, dari PAUD sampai SMA di Candipuro sudah masuk satuan pendidikan aman bencana.
"Selain upaya-upaya itu, peran relawan bencana yang ada di desa juga cukup penting. Relawan yang berasal dari warga desa ini kerap kali memberikan pengetahuan pada warga akan tanda-tanda terjadinya erupsi Semeru, sehingga warga menjadi lebih waspada," ujarnya.
Bahri, 37, sebagai salah satu relawan mengakui jika gunung Semeru kerap kali erupsi. "Kalau dulu tanda-tanda erupsi kecil itu sudah biasa, itu sebelum 2021. Padahal itu sudah tanda-tanda, kalau menurut dari pemantau gunung Sawur itu sudah tanda tidak aman," kata Bahri.
Relawan yang merupakan warga ini lebih mudah diterima masyarakat. Sehingga apa yang disampaikan relawan lebih mudah diserap masyarakat. Akhirnya mereka mulai memahami dan tahu akan tanda-tanda erupsi. "Setelah tahun 2021 sudah berubah, ada erupsi Semeru sedikit sudah waspada," katanya.
Selain itu, relawan juga memberikan pemahaman terkait evakuasi jika terjadi bencana. Bahkan, sebelum itu relawan memantau banjir lahar dingin yang kerap kali terjadi di aliran yang juga digunakan sebagai lokasi tambang pasir.
"Lebih mudah edukasi masyarakat soal bencana, tapi jika di tambang itu lebih sulit karena kan bukan dari masyarakat sekitar sini tapi dari luar," jelasnya.
Setelah 2021 lalu, kata dia, sejak ada relawan dan sebagainya, masyaraat sudah mulai teredukasi yang awalnya biasa-biasa, maka setelah erupsi 2021 lebih waspada. Ketika ada gemuruh warga sudah waspada, bahkan ada yang keluar rumah untuk memastikan seberapa erupsi yang terjadi. "Kemarin saya juga keluar, dulu seperti itu biasa saja," tandasnya.