Konferensi Perubahan Iklim ke-29 Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) yang akan berlangsung di Baku, Azerbaijan. Foto: COP29
Fajar Nugraha • 8 November 2024 07:33
Baku: Konferensi Perubahan Iklim ke-29 Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) yang akan berlangsung di Baku, Azerbaijan, pada 11-22 November 2024, menjadi sorotan bagi para pemerhati lingkungan dan hak asasi manusia.
Human Rights Watch (HRW) menyerukan agar negara-negara peserta COP29 mengambil tindakan konkret dan segera dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, termasuk dengan mempercepat penghapusan bahan bakar fosil secara adil.
Langkah ini dinilai penting untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah 1,5 derajat Celsius, mencegah dampak iklim yang lebih buruk, serta melindungi hak-hak masyarakat terdampak.
Human Rights Watch (HRW) mendesak pemerintah peserta COP29 untuk berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan, termasuk menghapus bahan bakar fosil secara bertahap dan adil.
Richard Pearshouse, direktur lingkungan dan hak asasi manusia HRW, menekankan pentingnya langkah ini untuk memastikan pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat Celsius.
"Peningkatan produksi batu bara, minyak, dan gas memperburuk kesehatan manusia, merusak hak asasi masyarakat di sekitar lokasi produksi bahan bakar fosil, dan mempercepat krisis iklim global," kata Pearshouse, dikutip dari Human Rights Watch, Kamis 7 November 2024.
Pada COP28 sebelumnya, dokumen utama konferensi menyebutkan bahwa negara-negara harus mulai bertransisi dari bahan bakar fosil, yang merupakan kemajuan penting dalam sejarah Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Namun, komitmen tersebut dinilai masih kurang untuk menjaga suhu bumi tetap di ambang 1,5 derajat Celsius. Meski terdapat konsensus ilmiah yang menggarisbawahi risiko penggunaan bahan bakar fosil, beberapa negara, termasuk Azerbaijan sebagai tuan rumah COP29, justru berencana meningkatkan produksi minyak dan gas dalam dekade mendatang.
Laporan PBB terbaru mengingatkan bahwa negara-negara perlu menunjukkan ambisi lebih kuat dalam rencana iklim nasional mereka. Jika tidak, suhu bumi diproyeksikan bisa naik antara 2,6 hingga 3,1 derajat Celsius pada akhir abad ini, yang akan membawa dampak bencana bagi lingkungan dan manusia.
Sebagai tuan rumah COP29, Azerbaijan berada dalam sorotan karena Presiden Ilham Aliyev menyatakan bahwa cadangan minyak dan gas negaranya adalah "karunia Tuhan," sehingga negara tersebut merasa berhak untuk melanjutkan produksi energi fosil meskipun dunia sedang diarahkan untuk menguranginya.
HRW menyatakan bahwa pemerintah peserta COP29 tidak boleh membiarkan Azerbaijan memanfaatkan posisi tuan rumahnya untuk memperluas penggunaan bahan bakar fosil yang dapat menghambat upaya global mengatasi krisis iklim.
Partisipasi aktif dari masyarakat sipil, aktivis, jurnalis, serta perwakilan masyarakat adat dianggap esensial dalam COP29. Namun, Azerbaijan yang dikenal memiliki pemerintahan otoriter telah memperketat kontrol terhadap kebebasan berekspresi dan organisasi.
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah aktivis ditahan atas tuduhan bermotif politik, termasuk mereka yang kritis terhadap sektor minyak dan gas Azerbaijan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran apakah kelompok masyarakat sipil dapat berpartisipasi secara bermakna dalam COP29.
Pada Agustus 2024, Sekretariat UNFCCC menandatangani perjanjian tuan rumah dengan Azerbaijan, meskipun salinan perjanjian tersebut tidak dipublikasikan. HRW mengungkapkan bahwa perjanjian tersebut mengandung celah hukum terkait perlindungan hak peserta.
Meski perjanjian ini memberikan kekebalan hukum atas pernyataan dan tindakan peserta, ada klausul yang mengharuskan peserta untuk menghormati hukum Azerbaijan dan tidak mencampuri "urusan internal" negara itu, yang bisa membatasi kebebasan berpendapat.
HRW mendorong Sekretariat UNFCCC dan pemerintah yang hadir di COP29 untuk meminta pemerintah Azerbaijan mematuhi kewajiban hak asasi manusia dan memastikan konferensi ini berlangsung dengan menghormati hak-hak peserta. (Muhammad Reyhansyah)