Jemaah haji ilustrasi. Kemenag.
Despian Nurhidayat • 20 January 2025 10:09
Jakarta: Pemerintah telah mengumumkan mulai 2026 penyelenggaraan ibadah haji tidak lagi berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Tetapi, akan dikelola oleh Badan Penyelenggara Haji (BPH).
Pengalihan penyelenggaraan haji mulai 2026 ini dinilai bisa jadi reformasi paling progresif dalam tata kelola ibadah haji di Indonesia. Meski langkah ini diharapkan dapat membawa peningkatan kualitas layanan, proses transisi tersebut dinilai harus diawasi secara ketat agar tidak menimbulkan tantangan baru.
Peneliti Haji dan Umrah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Darmadi menilai transisi ini adalah momentum penting untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap tata kelola haji di Indonesia. Pengelolaan ibadah haji selama ini menghadapi sejumlah tantangan, seperti transparansi dalam pengelolaan dana, alokasi kuota, hingga fasilitas di Tanah Suci.
"Dengan pembentukan BPH, kita berharap ada perbaikan signifikan, tetapi itu hanya mungkin jika dilakukan secara terencana dan akuntabel," ungkap Dadi, Senin, 20 Januari 2025.
Dadi menyampaikan beberapa catatan penting untuk perbaikan penyelenggaraan haji Indonesia ke depan. Pertama, reformasi tata kelola dan transparansi. Salah satu masalah adalah kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana haji dan distribusi kuota.
Kasus pengalihan kuota tambahan yang ramai dibicarakan pada 2024, misalnya, menjadi pengingat bahwa regulasi harus diperketat untuk memastikan keadilan dan mencegah penyimpangan.
Kedua, kata dia, perbaikan fasilitas di Tanah Suci. Masalah kronis seperti kepadatan di Mina dan Arafah, serta minimnya fasilitas sanitasi, menunjukkan perlunya kerja sama lebih erat antara pemerintah Indonesia dan otoritas Arab Saudi.
"Kita perlu memastikan bahwa fasilitas dan logistik tidak hanya cukup, tetapi juga memenuhi standar kenyamanan dan keselamatan," jelasnya.
Ketiga, peningkatan pelatihan
jemaah haji. Dadi menyoroti pentingnya pelatihan yang lebih baik bagi jemaah, termasuk aspek teknis dan spiritual.
"Sayang sekali jika manasik haji hanya menjadi rutinitas formalitas. Padahal, pemahaman jemaah tentang ibadah dan tantangan di lapangan sangat krusial untuk keamanan dan kenyamanan mereka selama haji," ujarnya.
Keempat, pengawasan independen. Dadi menekankan pentingnya pengawasan independen dalam penyelenggaraan haji, terutama ketika BPH mulai beroperasi.
"Kita membutuhkan pengawas yang independen dan memiliki kredibilitas untuk kebaikan BPH sebagai lembaga berwibawa ke depannya, dan memastikan bahwa layanan tetap berorientasi pada kebutuhan jemaah, bukan yang lain" tuturnya.
Pengurangan biaya haji menjadi Rp55,4 juta untuk 2025 layak diapresiasi sebagai langkah positif dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Tetapi, kata dia, perlu dipastikan bahwa efisiensi ini tidak mengorbankan kualitas layanan.
"Biaya yang lebih rendah harus sejalan dengan peningkatan mutu, bukan menjadi alasan untuk menurunkan standar pelayanan," tegasnya.
Dadi menyebut transisi ini harus menjadi momen refleksi bagi semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan haji. Penyelenggaraan haji adalah tanggung jawab besar.
"Reformasi ini hanya akan berhasil jika seluruh pihak mengutamakan prinsip layanan berbasis jemaah, bukan profit atau kepentingan politik," ungkap dia.
Sebelumnya, Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan penyelenggaraan ibadah haji 2025 akan menjadi yang terakhir dikelola Kemenag. Ia menegaskan komitmen untuk menjadikan tahun ini sebagai momentum yang penuh kedamaian dan kenyamanan bagi para jemaah.
Keputusan ini menandai langkah besar dalam tata kelola penyelenggaraan haji, yang diharapkan membawa peningkatan kualitas layanan kepada jemaah Indonesia.