Ilustrasi, gedung The Fed. Foto: Xinhua/Liu Jie.
M Ilham Ramadhan Avisena • 20 August 2024 13:10
Jakarta: Ketidakpastian ekonomi disebut masih akan berlangsung lebih lama. Salah satunya disebabkan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) yang diprakirakan tetap tinggi dalam beberapa waktu ke depan.
Sejatinya sejumlah data ekonomi Amerika Serikat (AS) kian memungkinkan bagi The Fed untuk memangkas bunga acuan. Itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi di Negeri Paman Sam, inflasi, hingga data ketenagakerjaan yang seiring dengan ekspektasi pasar.
Namun di sisi lain, kebijakan moneter AS juga dipastikan akan mempertimbangkan dinamika politik yang sedang terjadi menjelang pemilu.
"Tidak mudah bagi Jerome Powell (Ketua The Fed) di masa menjelang pemilu," ujar Menteri Keuangan periode 2013-2014 Muhammad Chatib Basri dalam webinar bertajuk Indonesia's 2025 Budget and Economic Outlook, Selasa, 20 Agustus 2024.
"Jadi, mungkin salah satu kemungkinannya, mereka (The Fed) akan menundanya (pemangkasan suku bunga) hingga Desember, tapi kami belum tahu apakah ini akan terjadi. Ya makanya faktor dari pasar dan politik juga penting," tambah dia.
Pasar berkespektasi Fed pangkas suku bunga
Pasar diketahui memiliki ekspektasi The Fed bakal memangkas bunga acuan pada September 2024 setelah data ketenagakerjaan AS dirilis beberapa waktu lalu. Selain itu tingkat inflasi di Negeri Paman Sam juga cenderung mengarah pada sasaran target yang diharapkan oleh The Fed.
Chatib menilai data ekonomi AS tersebut sedianya membuka ruang bagi
The Fed untuk memangkas bunga acuan. Hanya, faktor pemilu juga berperan penting dan menjadi hal yang tak akan luput dari pertimbangan bank sentral di AS.
Pasalnya, dua kandidat presiden memiliki orientasi kebijakan fiskal yang dinilai cukup memberatkan sisi moneter, yakni penaikan defisit anggaran secara berlebih. Baik Kamala Harris maupun Donald Trump dinilai akan mengerek defisit ke angka yang jauh lebih tinggi.
Kebijakan itu akan menyebabkan penurunan nilai surat utang AS (US Treasury) lantaran mau tak mau pemerintah mesti menerbitkan banyak obligasi demi menambal defisit anggaran.
"Dalam situasi seperti itu, tidak mudah bagi The Fed untuk menurunkan suku bunganya. Oleh karena itu, meskipun saya melihat ruang untuk suku bunga The Fed, namun mungkin tidak sebanyak yang diharapkan oleh pasar," kata Chatib.
Bikin mata uang dunia ambruk
Chatib menjelaskan, kebijakan moneter The Fed juga akan berimplikasi pada kebijakan bank sentral di hampir seluruh negara, termasuk Indonesia.
Sebab setelah Fed mengeluarkan kebijakan bunga acuannya, mata uang di hampir tiap negara akan mengalami perubahan atau bahkan terdepresiasi.
"Jadi dalam situasi seperti ini, mungkin Bank Indonesia akan menunggu apa keputusan The Fed. Jika Anda melihat inflasi di Asia, saat ini kurang dari tiga persen. Jadi persoalannya bukan pada inflasi, tapi bagaimana menjaga stabilitas nilai tukar," tutup Chatib.