Wakil Ketua KPK Johanis Tanak. Foto: Medcom/Theo.
Candra Yuri Nuralam • 14 December 2024 08:45
Jakarta: Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak merespons Dewan Pengawas (Dewas) Lembaga Antirasuah yang menyebut pihaknya kurang bernyali dalam melakukan pemberantasan korupsi. Para pemantau itu dinilai dianalogikan sebagai penonton sepak bola yang berkomentar.
“Kalau menurut saya, mereka yang berkomentar itu saya ilustrasikan mereka itu sebagai penonton sepak bola yang dengan bangga memberi komentar kepada pemain sepak bola, seakan-akan pemain sepak bola yang sedang bermain sepak bola itu tidak pandai bermain,” kata Tanak melalui keterangan tertulis, Sabtu, 14 Desember 2024.
Tanak mengatakan, penonton sepak bola kerap merasa lebih jago dengan atlet yang bermain di lapangan. Itu, kata dia, mirip dengan Dewas KPK.
“Idealnya tidak perlu banyak komentar dan jangan merasa diri yang paling hebat, padahal hebatnya itu cuma dlm konteks sebagai penonton yang bisa berkomentar, tapi, tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Tanak.
Tanak merasa Dewas KPK tidak lebih baik daripada komisioner yang sekarang. Bahkan, kata dia, pemberantasan korupsi diyakininya lebih buruk jika Lembaga Antirasuah dipimpin para pemantau itu.
“Kalau mereka yang jadi pimpinan, saya pastikan mereka akan lebih buruk daripada yang mereka katakan kepada pimpinan saat ini,” ujar Tanak.
Menurut Tanak, pemberantasan rasuah tidaklah mudah. Penanganan perkara memiliki kesulitan masing-masing, dan menyatukan pikiran lima pimpinan bukanlah hal mudah.
“Sulit menangani perkara kalau terlalu banyak pimpinan, apalagi yang menjadi ketua merasa yang paling berhak menentukan sikap dalam mengambil keputusan,” kata Tanak.
Dia juga menyebut penanganan kasus bukan didasari nyali berdasarkan komentar Dewas KPK. Sebab, penyidik dan komisoner Lembaga Antirasuah harus mencari peristiwa hukum dan mengaitkannya dengan aturan yang berlaku.
“Perlu diketahui bahwa suatu perkara pidana diproses atau tidak, hal tersebut tergantung pada peristiwa hukum itu sendiri karena belum tentu suatu perbuatan hukum dpt dikualifikasi sebagai suatu peristiwa pidana,” terang Tanak.
Tantangan perkara ini yang dinilai tidak dipertimbangkan Dewas KPK saat berkomentar. Lembaga Antirasuah tidak bisa sembarangan menindak pihak tertentu kalau perkaranya lemah dan dinilai tidak memenuhi unsur dalam aturan berlaku.
“Jadi penanganan suatu perkara bukan didasari pada ‘NYALI’ seperti yang dikatakan oleh Syamsuddin Haris,” tegas Johanis.
Sebelumnya, Dewas KPK memaparkan hasil pemantauannya atas kerja Lembaga Antirasuah selama lima tahun. Hasilnya, komisioner jilid v dinilai belum bisa menjadi teladan yang baik untuk percontohan integritas.
“Dalam penilaian Dewas, pimpinan KPK belum dapat memberikan teladan, khususnya mengenai integritas,” kata anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 12 Desember 2024.
Syamsuddin mengatakan, penilaian itu didasari banyaknya komisioner yang terseret dugaan pelanggaran etik. Yang paling disorot yakni, dua pimpinan yang sudah tidak menjabat yakni Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar.
“Terbukti, dari tiga pimpinan KPK yang kena etik (Lili, Firli, dan Nurul Ghufron), dan anda semua tahu siapa saja,” ucap Syamsuddin.
Pelanggaran etik yang menjerat komisioner itu dinilai tidak pantas terjadi di KPK. Pimpinan KPK juga disebut tidak memberikan contoh baik atas konsistensi kerja kepada bawahannya.