Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat. Foto: Istimewa
Achmad Zulfikar Fazli • 23 May 2024 06:11
Jakarta: Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) harus segera ditangani secara serius. Bila dibiarkan, praktik perbudakan modern itu berpotensi mengganggu kedaulatan negara.
"Sejumlah diskusi dan kajian menghasilkan sejumlah rekomendasi dan tindakan untuk mengatasi praktik TPPO yang sudah berlangsung lama hingga kini. Penanganan serius harus segera dilakukan, jangan sampai praktik perbudakan di era global ini mengganggu kedaulatan negara," kata Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertema Darurat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Pertengahan 2024 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 22 Mei 2024.
Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, praktik TPPO yang terus terjadi menimbulkan kekhawatiran. Sebab, ini bukan semata jual beli orang, tetapi sudah melanggar hak-hak kemanusiaan.
Dia menyampaikan bila mekanisme perlindungan tidak direalisasikan secara tegas dan menyeluruh, akan muncul seolah-olah terjadi mekanisme pembiaran. Padahal, kata dia, salah satu tugas negara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dia menjelaskan perlidungan tersebut mencakup perlindungan menyeluruh yang bisa diwujudkan dengan kepastian perlindungan hukum. Pada kenyataannya, kata Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, setiap tahun selalu terungkap kasus TPPO dengan berbagai rupa dan modus berbeda.
Rerie sangat berharap para pemangku kepentingan di pusat dan daerah secara bersama serius melihat permasalahan secara lebih jernih dalam mewujudkan perlindungan menyeluruh bagi setiap warga negara dari jeratan praktik TPPO.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Khusus, Polda Sulawesi Tengah, Kombes Bagus Setiyawan, mengungkapkan dalam penanganan TPPO, pihaknya memiliki komitmen tinggi.
Menurut Bagus, dalam penanganan sejumlah kasus TPPO, itu beberapa modus operasi terungkap, antara lain rekrutmen pekerja migran Indonesia, dijanjikan bekerja di luar negeri untuk dijadikan pekerja seks komersial, dan eksploitasi anak di bawah umur dengan dokumen palsu.
Bagus mengakui ada berbagai kendala dalam proses penanganan sejumlah kasus TPPO. Antara lain, korban TPPO kerap enggan melapor dan saksi pada kasus TPPO tidak datang karena sudah pindah.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, berpendapat isu TPPO sudah mengkhawatirkan. Menurut Wahyu, sudah sejak lama Indonesia masuk dalam darurat trafficking dan muncul dengan modus baru.
Menurut Wahyu, modus lama kasus TPPO disamarkan dengan perekrutan dan penempatan pekerja migran di sektor pekerja rumah tangga, pekerja perkebunan, dan anak buah kapal.
Pada tiga sektor tersebut, ungkap dia, Indonesia sangat rentan terhadap praktik-praktik TPPO. Kondisi tersebut diperburuk dengan kondisi ketenagakerjaan nasional yang kurang berkembang secara kualitas. "Tata kelola ketenagakerjaan kita belum human rights based approach," ujar dia.
Menurut dia, modus operandi baru dalam praktik TPPO didorong kondisi pengangguran yang meningkat akibat dampak pandemi.
Kondisi lapar kerja itu juga dimanfaatkan sindikat untuk merekrut tenaga kerja ke luar negeri dengan informasi tidak jelas. Bahkan, kata Wahyu, anak muda juga menjadi sasaran sindikat perdagangan orang yang memanfaatkan sektor digital seperti scaming dan judi online.
Menurut Wahyu, ketika anak muda, sarjana yang tinggal di perkotaan, dan dari keluarga kelas menengah menjadi sasaran sindikat perdagangan orang, kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Sebab, generasi muda menjadi tumpuan harapan mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Deputi Penempatan & Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah, BP2MI, I Ketut Suardana, mengungkapkan sejatinya BP2MI bekerja berdasarkan amanat UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Sejumlah peraturan yang menjadi turunan UU Nomor 18 Tahun 2017 itu juga sudah menegaskan tugas dan wewenang sejumlah pihak dalam proses perlindungan pekerja migran Indonesia, serta kelengkapan persyaratan dalam proses menjadi pekerja migran.
Dalam upaya perlindungan dan pengawasan, kata dia, BP2MI memerlukan dukungan semua pihak. Dia menyampaikan pihaknya selalu berupaya mempersiapkan calon pekerja migran Indonesia dengan kompetensi memadai untuk siap bekerja di luar negeri.
Dalam menjalankan perannya, Ketut Suardana mengungkapkan, BP2MI memiliki sejumlah program prioritas, antara lain pemberantasan sindikat pekerja migran, penguatan kelembagaan dan reformasi birokrasi, menjadikan pekerja migran Indonesia menjadi VVIP, memodernisasi sistem pendataan, dan meningkatkan sinergi dengan sejumlah pihak terkait.
Saat ini, menurut Ketut Suardana, terdapat 9 juta pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, tetapi yang tercatat di sistem BP2MI hanya 4,99 juta orang. Selebihnya, diduga berangkat secara ilegal.