Pemerintah Diminta Sokong Ekonomi Kerakyatan

Ilustrasi. Foto: Dok Medcom.id

Pemerintah Diminta Sokong Ekonomi Kerakyatan

Eko Nordiansyah • 29 January 2025 17:38

Jakarta: Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Pribumi Nusantara Indonesia (Asprindo) Prof Didin S Damanhuri menyambut baik pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan terus melakukan perbaikan dalam tata kelola pemerintahan. Ia pun berharap Presiden Prabowo dapat mendukung ekonomi kerakyatan.

"Saya melihat pemerintahan Prabowo ini membawa platform baru, yang berbeda dengan pemerintahan yang lama. Seperti, di sektor pembangunan ekonomi, Prabowo mengedepankan ekonomi kerakyatan sementara pemerintahan sebelumnya berorientasi pada pembangunan infrastruktur secara besar-besaran," kata Prof Didin dalam keterangannya, Rabu, 29 Januari 2025.

Dalam pelaksanaannya, perubahan paradigma (paradigm shift) membuat implementasi janji-janji berjalan lambat. Seperti pemberantasan korupsi, swasembada pangan, swasembada energi, efisiensi untuk menekan kebocoran anggaran yang mencapai 30 persen, dan melakukan review terhadap berbagai program pembangunan selaras dengan ekonomi rakyat.

"Kebocoran APBN ini di atas 30 persen, besar sekali, hampir Rp1.000 triliun. Saya mengapresiasi bagaimana Prabowo bisa mereview berbagai program dinas pemerintahan senilai 10 persen dari APBN dan melakukan penghematan sekitar Rp306 triliun," ujarnya.

Langkah lain yang dinilai sangat progresif oleh Prof Didin adalah kebijakan pengendapan devisa hasil ekspor sumber daya alam selama satu tahun. "Tinggal pelaksanaannya, apakah bisa dilaksanakan sesuai Keppres atau tidak," ujarnya lagi.

Sementara untuk swasembada pangan, Ekonom Senior Indef ini menilai langkah yang dilakukan pemerintah cukup kontroversi. Karena mengejar waktu, pemerintah memutuskan untuk menggunakan TNI, terutama pada program Food Estate.

"Padahal, jika ingin mendapatkan hasil maksimal, seharusnya pemerintah melibatkan petani secara luas. Hal yang sama juga saya rasakan di swasembada energi," kata Prof Didin lebih lanjut.

Hal lainnya yang diapresiasi oleh Prof Didin terkait kebijakan pengelolaan negara Presiden Prabowo, adalah pernyataan bahwa tidak boleh ada negara dalam negara yang menyangkut dua hal, yaitu ekonomi nasional dan penegakkan hukum. "Walaupun begitu, publik melihat kinerja pemerintahan Prabowo ini masih terpenjara oleh pemerintahan lama," ucapnya tegas.
 

Baca juga: 

Kampung Industri Jadi Alternatif Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan



(Ilustrasi UMKM. Metrotvnews.com/Eko Nordiansyah)

Sokong ekonomi kerakyatan

Menyoroti sektor perekonomian, Prof Didin menilai bahwa bukan hanya terkait suku bunga perbankan dan devisa hasil ekspor tapi ada masalah besar yang harus dibenahi oleh pemerintahan. Yaitu melakukan revisi undang-undang yang tidak menyokong platform ekonomi kerakyatan. 

"Misalnya, pemerintahan bisa mencabut Permendag yang mengizinkan masuknya barang luar yang sejenis dengan produk hasil industri padat karya milik lokal. Atau, aturan profit sharing negara dengan swasta, yang kerap perbandingannya adalah 3 berbanding 7, seharusnya kan 50:50. Ini terlalu besar ke sektor swasta, seperti nikel, jatuhnya malah ke pihak asing. Ini harus segera direvisi. Semua aturan yang tidak affordable bagi kebangkitan ekonomi nasional, harus direvisi. Jangan sampai aturan ini menghambat orientasi ekonomi kerakyatan," ucapnya lagi.

Ia pun menyoroti suku bunga Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan negara tetangga di ASEAN seperti Thailand 2,25 persen, Singapura 2,98 persen, Malaysia tiga persen, dan Vietnam 4,5 persen. Hanya Brunei Darussalam 5,5 persen dan Filipina 5,75 persen yang hampir sama dengan Indonesia.

"Bagaimana bisa bangkit? Biaya modal, biaya bisnis kita relatif lebih mahal. Belum yang hilirisasi, yang katanya hingga sektor agromaritim, ini kan juga harus ekspor. Pelaku bisnis itu membutuhkan nilai tukar mata uang yang stabil dan suku bunga yang kompetitif. Pemerintah perlu gercep ini jelang 6 bulan masa pemerintahan," kata Prof Didin lagi. 

Selain itu, ia juga mengingatkan Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kementerian yang tidak perform dan terlalu gendut. "Karena terlalu gendut, jadi tidak lincah dan berbiaya tinggi juga. Jadi, menurut saya, kalau tidak perform yang harus jadi objek reshuffle," ujar Guru Besar IPB ini.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)