Presiden ke-7 Joko Widodo. Foto: Metrotvnews.com/Triawati.
Kautsar Widya Prabowo • 1 January 2025 19:31
Jakarta: Penilaian Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), terhadap Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) perlu diselidiki lebih lanjut. Sebab, bias dan tidak ilmiah.
"Berdasarkan informasi yang saya temukan, metode yang digunakan oleh OCCRP tidak berbasis pada data hukum dan fakta. Mereka menggunakan pendekatan polling melalui Google Form, yang jelas-jelas tidak ilmiah," kata pengamat komunikasi politik Universitas Bung Karno Faisyal Chaniago, dalam keterangan yang diterima Metrotvnews.com, Rabu, 1 Januari 2025.
OCCRP menuding Jokowi sebagai tokoh korup, berdasarkan polling dan tidak berbasis pada data hukum yang sahih. Menurutnya, penggunaan Google Form untuk polling merupakan metode yang tidak tepat, khususnya dalam menilai sebuah fenomena besar seperti korupsi, yang perlu analisis mendalam dan validitas data.
Faisyal juga mengkritik konsep yang digunakan oleh OCCRP dalam memberikan penilaian terhadap pemimpin-pemimpin dunia. Ia berpendapat bahwa lembaga tersebut membuat indikator-indikator sendiri, mengenai korupsi tanpa adanya data dan fakta yang jelas.
"OCCRP membuat indikator sendiri tentang makna korupsi. Kalau semua lembaga bebas membuat variabel-variabel untuk menyusun konsep, maka akan melahirkan konsep-konsep yang bias dan salah," tegasnya.
Dia menambahkan, apabila konsep ini terus dipakai tanpa keilmiahan yang jelas, maka bisa disalahgunakan. Khususnya, dalam menyerang tokoh atau pemimpin yang tidak mereka sukai.
Faisyal juga menilai bahwa salah satu variabel yang digunakan oleh OCCRP, yakni 'menjarah sumber daya alam', sangat bias. Menurutnya, jika variabel ini digunakan untuk menilai korupsi, maka banyak pemimpin negara industri yang juga dikategorikan serupa.
"Kenapa OCCRP tidak memasukkan presiden negara-negara Eropa dan Amerika yang sudah nyata merusak lingkungan?" kritik Faisyal.
Ia menekankan bahwa penggunaan indikator semacam ini dapat merugikan banyak pihak. Terutama, dilihat dari perspektif global yang lebih luas.
Selain itu, Faisyal mengkritik banyak pihak yang mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia yang lebih besar yang terjadi di negara-negara lain. Khususnya, yang melibatkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
"Presiden yang paling banyak melanggar hak asasi manusia itu bukan Jokowi. Kasus perang di kawasan Timur Tengah, seperti perang Irak, misalnya. Semua dunia tahu siapa yang jadi dalangnya," katanya.
Menurutnya, dalam konteks ini, Amerika Serikat telah menjadi aktor utama dalam hilangnya hak-hak rakyat Irak selama perang, namun tidak ada yang menyebut pemimpin negara tersebut sebagai pemimpin terkorup.
Faisyal juga menilai bahwa laporan OCCRP ini dimanfaatkan oleh politisi-politisi tertentu yang tidak menyukai Jokowi untuk menyerang citra Presiden ke-7 itu.
"Berita OCCRP ini digunakan oleh politisi-politisi yang tak suka dengan Jokowi sebagai senjata untuk menyudutkan Jokowi," kata Faisyal.
Dia menilai
Jokowi tetap pantas mendapat apresiasi atas berbagai pencapaian yang telah diraihnya selama memimpin Indonesia. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang berjalan maksimal.
Faisyal menilai bahwa laporan OCCRP terhadap Jokowi sebagai pemimpin terkorup perlu dikaji lebih dalam. Baik dari sisi metodologi yang digunakan maupun variabel-variabel yang diangkat.
Ia mengimbau semua pihak tidak langsung mempercayai penilaian tersebut. Apalagi, tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas dan fakta yang lebih objektif.
Menurutnya, situasi ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang lebih kritis terhadap sumber-sumber informasi yang ada. Terutama, dalam ranah politik global yang sering kali dipenuhi dengan agenda tersembunyi.