Ilustrasi. Medcom
Media Indonesia • 23 February 2024 23:57
Jakarta: Pemungutan suara ulang (PSU) yang menjangkau seluruh povinsi di Indonesia membuktikan adanya ketidakbecusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyelenggarakan Pemilu 2024. Hal itu disampaikan pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini.
"Betul, problemnya itu pada kapasitas dan profesionalitas penyelenggara pemilu," ujar Titi kepada Media Indonesia, Jumat, 23 Februari 2024.
Menurut Titi, sumber masalah terjadinya PSU adalah bimbingan teknis (bimtek) dari KPU kepada petugas KPPS yang tidak efektif dalam menguatkan kapasitas teknis kepemiluan. Ini diperburuk dengan sosialisasi kepada pemilih maupun petugas KPPS yang sangat terbatas.
Minimnya sosialisasi itu, sambung Titi, membuat sejumlah pemilih terpaksa kehilangan hak pilih. Sebab, banyak di antara mereka yang baru sadar terlambat mengurus pindah memilih saat mendekati hari H pemungutan suara pada Rabu, 14 Februari 2024.
PSU digelar berdasarkan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena sejumlah hal. Salah satunya, temuan pengawas terkait adanya pemilih yang tidak mengurus pindah memilih, tapi dapat mencoblos pada TPS yang tidak sesuai alamat pada e-KTP.
Titi mengatakan disinformasi seputar pemilu yang diterima pemilih maupun dialami petugas KPPS seputar teknis kepemiluan turut menyebabkan terjadinya pelanggaran administratif di TPS.
Hal senada disampaikan Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati. Dia menyampaikan PSU merupakan potret ketidaksiapan penyelenggara pemilu dalam menghadapi mitigasi risiko yang terjadi di lapangan. Kekhilafan petugas KPPS seputar teknis kepemiluan seharusnya dapat diantisipasi sejak dini.
Di samping itu, dia menyoroti banyaknya petugas KPPS yang kurang berpengalaman dalam menghadapi kekompleksitasan Pemilu 2024. Itu termasuk proses input data ke Sistem Infromasi Rekapitulasi (Sirekap).
Hasil pemantauan DEEP di lapangan, sambung Neni, menemukan lemahnya kontrol yang dilakukan penyelenggara pemilu di level atas, seperti KPU kabupaten/kota dan provinsi.
"Serta lemahnya kontrol pengawasan di pengawas pemilu juga saksi di TPS yang tidak memiliki pengalaman teknis di lapangan," terang Neni.
Baca Juga:
KPU Kota Batam Pemungutan Suara Lanjutan di 8 TPS |