Suasana pengusiran pengungsi Rohingya oleh mahasiswa di Aceh. Metro TV/Fahmi Reza
Media Indonesia • 30 December 2023 20:11
Banda Aceh: Aksi kebrutalan sekelompok mahasiswa pengusir paksa pengunsi Rohingya di Gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA) Banda Aceh, Provinsi Aceh, pada Rabu 27
Desember 2023, dianggap telah merusak citra masyarakat Aceh di mata dunia internasional. Apalagi hal itu terjadi sehari sehari setelah peringatan 19 tahun tsunami Aceh 26 Desember 2023.
Pengusiran itu dianggap sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan budaya Aceh. Hal itu terjadi disebut-sebut karena kurangnya perhatian pemerintah sehingga kedatangan manusia perahu tersebut lebih banyak perhatian warga pesisir sehingga lepas kontrol. Kondisi ini mengundang berbagai isu negatif berlebihan terhadap etnis Rohingya dan terprovokasi dengan tindakan kasar.
Akhirnya seperti melupakan bahwa kondisi negeri ini pascatsunami yang meluluhlantakkan ribuan kilometer kawasan pesisir Serambi Mekkah dan menewaskan sekitar 230.000 jiwa. Saat itu Aceh hidup kembali setelah mendapat bantuan berbagai negara di dunia.
Mantan Rektor Universitas Syiah (USK) Samsul Rizal mengatakan, demo yang tidak mencerminkan sosial budaya masyarakat Aceh itu patut diduga ada yang menungganginya. Aksi tidak terpuji dan bisa menjadi perhatian dunia internasional itu seperti ada maksud tertentu atau untuk demi suatu jabatan.
"Saya sangat sayangkan arus pengusiran pengungsi yg mengatasnamakan Mahasiswa Nusantara, harusnya seorang mahasiswa belajar tentang kemanusiaan. Padahal pengungsi kebanyakan anak2 dan perempuan yg harus di lindungi" tutur mantan Rektor USK, Samsul Rizal.
Samsul Rizal yang juga Ketua Korwil ICMI Aceh, merasa kecewa dengan pemerintah yang lamban dan kurang serius menangani gelombang pengusian itu. Harusnya pemerintah menjaga martabat bangsa dan daerah dengan melindungi para pengungsi, terlepas dari persoalan apapun.
"Dan saya melihat Pemerintah Aceh juga tidak memberikan perhatian yang serius, serta tidak memberikan edukasi yg benar dan juga tidak berusaha untuk menempatkan para pengungsi di tempat yg selayaknya" tutur mantan Rektor USK itu.
Hal senada juga disampaikan mantan Sekjen Internasional Concern Group Rohingyas (ICGR), M Adli Abdullah. Menurutnya pelerintah pusat berpolitik dengan persoalan pengungsi Rohingya yang terdampar beberapa kali di Selat Malaka dan mendarat Di Aceh.
Karena tidak jelasnya sikap pemerintah terhadap penanganan ini, sehingga persolan semakin runyam di lapangan. Apalagi dibiarkan kepada masyarakat yang tidak mengerti dan di luar kemampuan segala hal.
"Kalaulah sejak awal pemerintah pusat jujur dan terbuka kepada rakyat Aceh soal Rohingya ini, pasti kita akan menemukan peristiwa yang mengedepankan persaudaraan.
Negara punya kapasitas untuk menertibkan dan mengamankan etnis Rohingya setiba di Aceh" Kata Adli Abdullah.
Menurut Dosen Hukum Senior USK ini, tidak ada koordinasi yang serius menyangkut dengan kehadiran rohingya belakangan ini. Masing masing seoerti saling melempar tanggung jawab.
"Padahal ini bukan soal yang sulit. Kini seperti nasi sudah menjadi bubur. Apalagi cukup negatif dalam pandangan sisi hak asasi manusia dan kemanusiaan," ujarnya.