Vonis Rendah Koruptor, Integritas Pengadilan dan Revisi UU Tipikor Perlu Dibenahi

Ilustrasi. Foto: Dok Medcom.id

Vonis Rendah Koruptor, Integritas Pengadilan dan Revisi UU Tipikor Perlu Dibenahi

Devi Harahap • 27 December 2024 20:17

Jakarta: Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan rendahnya vonis pada perkara tindak pidana korupsi (tipikor) menandakan bahwa majelis hakim tidak memiliki rasa sensitivitas dalam mewujudkan keadilan hukum di mata publik.  

“Ini menandakan bahwa hakim kurang peka terhadap rasa keadilan masyarakat padahal dampak korupsi sangat merugikan masyarakat. Misalnya terdakwa Harvey Moeis yang pada korupsi timah di Bangka Belitung, kerugian lingkungannya saja sudah mencapai 270 T,” ujarnya kepada Media Indonesia, Jumat, 27 Desember 2024. 

Menurut Boyamin, seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memberikan vonis seumur hidup untuk terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022 dari perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT), Harvey Moeis. 

“Bahwa vonis 6,5 tahun dianggap sangat ringan karena hari ini kasus Tipikor Budi Said yang kerugiannya 35 miliar saja dihukum 15 tahun. Ini jauh dari asa keadilan karena tuntutan jaksa yang kurang maksimal,” katanya. 

Boyamin menilai, berbagai praktik tipikor yang divonis ringan kerap kali dipicu karena rendahnya tuntutan yang diberlakukan jaksa penuntut. Dikatakan bahwa jika dari awal tuntutan jaksa diterapkan secara maksimal, maka vonis akan mengikuti. 

“Pada putusan kasus tipikor sering kali divonis ringan karena terkadang tuntutan jaksa yang diberlakukan juga ringan. Padahal ini kasus korupsi tambang dan ada pencucian uang, harusnya hukumannya tinggi yaitu seumur hidup,” jelasnya. 
 

Baca juga: 

Menteri Hukum Tegaskan Denda Damai Bukan untuk Bebaskan Koruptor



Ahli-alih menuntut seumur hidup, Boyamin sangat kecewa dan menyayangkan Jaksa yang hanya menuntut 12 tahun pidana, hal itu pun berdampak pada rendahnya vonis yang hanya setengah dari tuntutan. 

“Korupsi dan kerugian di atas 100 miliar seharusnya dituntut seumur hidup, tapi karena Jaksa hanya menuntut 12 tahun maka akhirnya pun divonis hakim hanya separuh hukuman,” jelasnya. 

Atas dasar itu, Boyamin menilai untuk membenahi putusan pengadilan terkait tipikor agar berdasar pada rasa keadilan, pemerintah harus membenahi terlebih dahulu integritas para jaksa. Sebab tuntutan para jaksa tersebut yang akan menjadi dasar untuk memvonis. 

“MA juga sudah membuat aturan bahwa kasus korupsi dengan kerugian di atas 100 miliar, boleh diterapkan hukuman seumur hidup. Jadi opini Ketua MA yang mengatakan soal alat bukti jadi basis kuat atau tidak kuatnya vonis itu tidak pas, ya kalau bukti tidak kuat maka pasti dinyatakan bebas,” katanya. 

Terpisah, Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman menilai pemerintah harus merumuskan ulang aturan dan definisi terkait kerugian perekonomian negara dalam Tipikor. 

“Ke depan harus dirumuskan ulang mengenai kerugian perekonomian negara, apa yang dimaksud kerugian perekonomian negara, bagaimana cara perhitungannya, siapa yang menghitungnya, dan bagaimana cara untuk membebankan kepada para pelaku,” katanya.

Untuk itu, Zaenur mendorong pemerintah untuk segera merumuskan hal tersebut melalui revisi UU Tipikor. Menurutnya, formulasi dalam Undang-Undang Tipikor saat ini tidak relevan dengan kondisi kejahatan korupsi di Indonesia belakangan ini.  

Atas dasar itu, kata Zaenur, perlu untuk mengatur keseragaman pemahaman dalam mengajukan tuntutan dan menjatuhkan putusan agar pidana yang diberikan memberi efek jera.

“Saya paham putusan atas (Harvey Moeis) ini bagi masyarakat terasa menggelikan karena masih sangat kecil, maka harus dirumuskan melalui revisi UU Tipikor,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Mulawarman, Orin Gusta menuturkan bahwa dalam beberapa kasus, hakim kerap menjatuhkan hukuman uang pengganti. Namun, hukuman itu bisa diganti dengan subsider pemenjaraan yang pada akhirnya mengurangi pidana.

“Banyak putusan tipikor saat ini yang memang cenderung rendah ditambah lagi persoalan rumit karena uang pengganti yang digadang-gadang dengan jumlah besar, dan uang pengganti itu bisa subsider dengan kurungan. Ini celah yang biasa dimanfaatkan, belum lagi nanti adanya pengurangan hukuman,” katanya. 

Selain itu, Orin menegaskan bahwa banyak kasus Tipikor yang melibatkan para elite dan pihak yang berkuasa. Sehingga sering kali proses hukum mampu diintervensi secara politis. 

“Pada kasus tipikor memang vonisnya cenderung dilakukan secara bersama-sama dan oleh mereka yang punya pengaruh, belum lagi jika ada aktor lain yang terlibat di balik suatu kasus,” ungkapnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)