Ilustrasi. Medcom.id.
Tri Subarkah • 1 July 2024 22:46
Jakarta: Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dinilai menjadi kemunduruan luar biasa bagi keterwakilan perempuan. Praktik pengaturan kebijakan afirmasi kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan calon anggota legislatif (caleg) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) disinyalir menjadi pemicunya.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI periode 2008-2012 Wahidah Suaib megungkapkan pimpinan KPU terdahulu sejatinya mencoba memperkuat peraturan KPU (PKPU) soal pemenuhan keterwakilan perempuan caleg, yakni dengan menerapkan sanksi bagi partai politik. Sayangnya, KPU periode saat ini tak melakukannya.
"Ini kemunduran luar biasa terakit keterwakilan perempuan. (Aturan terdahulu) sudah sangat kuat itu, tiba-tiba muncul drastis ke bawah," kata Wahidah dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin, 1 Juli 2024.
Pada penyelenggaraan Pemilu Legislatif (Pileg) 2024, KPU menerbitkan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 mengenai pencalegan. Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU tersebut menyatakan penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil yang menghasilkan pecahan desimal kurang dari 50 dilakukan pembulatan ke bawah.
Beleid itu ditentang pegiat pemilu dan perempuan karena berpotensi mengurangi keterwakilan perempuan caleg. Mereka menyengketakan tindakan KPU itu ke sejumlah kanal, mulai dari Mahkamah Agung (MA), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Bawaslu.
MA mengabulkan uji materi atas Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10/2023 dan mengembalikan penghitungan pecahan desimal keterwakilan perempuan ke atas. Sementara, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari dan sanksi peringatan kepada enam komisioner KPU RI lainnya.
Baca juga: KPK Terima 39 Laporan Transaksi Mencurigakan Sejak Januari 2024 |