Ilustrasi. Medcom.id
Media Indonesia • 15 October 2024 06:20
Semarang: Hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang dalam sidang putusan terhadap enam taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang memvonis masing-masing 10 bulan penjara atas penganiayaan terhadap yuniornya, keluarga korban kecewa karena keputusan tersebut terlalu ringan.
Sidang vonis digelar PN Semarang dengan majelis hakim dipimpin Kukuh Kalinggo Yuwono atas kasus penganiayaan terhadap korban MG, taruna PIP mengakibatkan luka berat dan ringan hingga tidak dapat melanjutkan pendidikan kembali di sekolah kedinasan tersebut berlangsung singkat.
Hakim PN Semarang menjatuhkan vonis keenam terdakwa merupakan taruna PIP Semarang berinisial MDK, PDR, ZA, DP, YP, dan RNFF penjara 10 bulan atau lebih ringan dari tuntutan jaksa penjara satu tahun karena terbukti melanggar Pasal 170 jo 351 Ayat (1) jo 55 KUHP tentang penganiayaan terhadap yuniornya.
Sidang vonis yang dihadiri kedua orang tua korban MG,20, cukup mengundang perhatian, katena akibat penganiayaan okeh enam seniornya itu mengakibatkan korban luka serius dan harus mendapatkan perawatan intensif secara fisik maupun psikologis, juga diakui oleh para terdakwa yang mengaku hal itu dikakukan sebagai tradisi untuk mendisiplinkan taruna baru.
Atas putusan hakim tersebut, baik korban maupun orang tuanya mengaku kecewa, karena vonis tersebut terlalu ringan yang tidak sebanding dengan penderita diaiami korban yakni selain luka fisik dan harus mendapatkan perawatan psikologis juga ehilangan kesempatannya menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) setelah lulus dari sekolah kedinasan itu.
"Saya alami trauma berat karena diancam dan diintimidasi, kepastian menjadi CPNS juga hilang sehingga sekarang saya mengambil kuliah di sebuah universitas swasta," ungkap korban MG.
Ibu korban Yoka didampingi kuasa hukum dari LBH Semarang Nico Wauran mengaku kecewa atas vonis dijatuhkan hakim karen tidak mempertimbangkan masa depan anaknya sebagai korban kekerasan dan telah kehilangan hak-haknya termasuk menjadi CPNS. "Belum lagi dari kasus ini, anak saya kehilangan dua tahun masa pendidikannya," ungkapnya.
Terjadi kasus yang menimpa anaknya tersebut, menurut Yoka, negara sangat jelas tidak hadir bagi korban kekerasan di dunia pendidikan. "Negara tidak serius dalam memberantas premanisme dan menormalisasi kekerasan dalam dunia pendidikan," ujarnya.