Kilas Balik Perang Dagang Pertama Trump dan Kenapa Dianggap Gagal

Presiden AS Donald Trump. (EPA-EFE)

Kilas Balik Perang Dagang Pertama Trump dan Kenapa Dianggap Gagal

Riza Aslam Khaeron • 2 February 2025 14:34

Washington DC: Donald Trump memulai perang dagang dengan Tiongkok pada 2018 dengan dalih melindungi industri AS dan menekan praktik perdagangan tidak adil. Namun, menurut laporan paska pemerintahan Trump yang pertama, kebijakan ini justru "merugikan ekonomi AS tanpa mencapai tujuan utama," sebagaimana yang ditulis US-China Business Council dalam publikasi Oxford Economics, 2021.

Pada 1 Februari 2025, Trump kembali menerapkan kebijakan tarif, termasuk 10 persen pada impor dari Tiongkok, sebagai bagian dari kebijakan barunya untuk menekan perdagangan luar negeri demi kepentingan domestik AS. Dikutip dari Council on Foreign Relations (CFR), Minggu, 2 Februari 2025, tarif ini diperkirakan akan meningkatkan harga barang konsumsi dan mengganggu rantai pasokan industri manufaktur di AS, serupa dengan dampak yang terjadi dalam perang dagang pertamanya.
 

Awal Perang Dagang dan Eskalasi Tarif

Pada Maret 2018, Trump menerapkan tarif 25 persen pada impor baja dan 10 persen pada impor aluminium, yang berdampak langsung pada mitra dagang utama AS seperti Tiongkok, Kanada, dan Uni Eropa. Langkah ini memicu pembalasan dari negara-negara tersebut, terutama Tiongkok, yang mengenakan tarif terhadap produk pertanian AS seperti kedelai dan daging babi.

Pada Juli 2018, tarif tambahan senilai USD 34 miliar diterapkan terhadap barang-barang Tiongkok, diikuti oleh tarif USD 200 miliar pada September tahun yang sama. Tiongkok merespons dengan mengenakan tarif terhadap barang AS senilai USD 60 miliar.

Dikutip dari US-China Business Council, Minggu, 2 Februari 2025, perang dagang ini menaikkan harga barang konsumsi di AS dan menurunkan daya saing industri manufaktur.
 

Dampak Ekonomi dan Kegagalan Mencapai Tujuan

Laporan US-China Business Council menyebutkan bahwa hingga akhir 2019, perang dagang telah menyebabkan kerugian ekonomi sebesar USD 108 miliar dan kehilangan 245.000 lapangan kerja. Tarif yang diterapkan Trump membuat harga barang impor lebih mahal, terutama untuk industri otomotif dan elektronik yang sangat bergantung pada suku cadang dari Tiongkok.

Menurut Axios, kenaikan harga bahan baku akibat tarif ini juga menyebabkan banyak perusahaan manufaktur AS merelokasi produksinya ke negara lain, alih-alih kembali ke AS seperti yang diharapkan Trump.

Trump mengklaim bahwa tarif akan memperkecil defisit perdagangan AS dengan Tiongkok. Namun, berdasarkan data US-China Business Council, defisit perdagangan AS hanya berkurang USD 73 miliar, dari USD 419 miliar pada 2018 menjadi USD 346 miliar pada 2019. Meski tampak sebagai pencapaian, penurunan ini tidak mencerminkan perbaikan struktural dalam perdagangan AS, melainkan lebih karena penurunan ekspor AS ke Tiongkok akibat tarif balasan dari Beijing.

Defisit perdagangan AS dengan negara lain juga mengalami peningkatan, mengimbangi pengurangan defisit dengan Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tarif hanya mengalihkan rute perdagangan tanpa mengurangi ketergantungan AS pada impor secara keseluruhan.

US-China Business Council mencatat bahwa faktor utama defisit perdagangan AS adalah kebijakan fiskal domestik dan status dolar AS sebagai mata uang cadangan global, yang membuat impor tetap tinggi meskipun ada hambatan perdagangan.

Trump juga menjanjikan kebangkitan industri manufaktur AS, tetapi data menunjukkan bahwa sektor ini justru mengalami stagnasi. Laporan US-China Business Council menyatakan bahwa jumlah lapangan kerja manufaktur hanya bertambah 0,3 persen antara 2017 dan 2019, jauh lebih rendah dari proyeksi awal.

Di sektor pertanian, sebagai pembalasan terhadap tarif AS, Tiongkok mengurangi impor produk pertanian dari AS, menyebabkan penurunan ekspor kedelai sebesar 71 persen pada 2018. Akibatnya, banyak petani AS mengalami kerugian besar dan bergantung pada bantuan pemerintah.
 
Baca Juga:
Dampak Perang Tarif Trump Menurut Pengamat: Minim untuk Tiongkok
 

Pandangan Pengamat: Perang Dagang yang Gagal

Banyak ekonom dan pengamat perdagangan menganggap perang dagang Trump sebagai strategi yang gagal. Dikutip dari US-China Business Council, Minggu, 2 Februari 2025, perang dagang hanya mengganggu rantai pasokan global dan menaikkan harga barang tanpa memberikan manfaat ekonomi yang nyata bagi AS.

Menurut Axios, pemerintahan Trump mungkin berharap bahwa tekanan ekonomi akan memaksa Tiongkok mengubah kebijakan industrinya, tetapi kenyataannya, Tiongkok justru semakin memperkuat pasar domestiknya dan mencari mitra dagang baru.

Dengan perang dagang kedua yang kini mulai berlangsung, banyak analis memperingatkan bahwa mengulangi kebijakan yang sama bisa kembali merugikan ekonomi AS tanpa memberikan hasil yang diharapkan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Rodhi Aulia)