Keputusan WTO Diharap Jadi Pijakan Penyelesaian IEU-CEPA

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Foto: Istimewa.

Keputusan WTO Diharap Jadi Pijakan Penyelesaian IEU-CEPA

M Ilham Ramadhan Avisena • 17 January 2025 18:32

Jakarta: Keputusan World Trade Organization (WTO) yang menilai Uni Eropa melakukan diskriminasi terhadap minyak sawit dan biofuel Indonesia diharapkan menjadi pijakan awal untuk segera menyelesaikan perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). 

"Saya berharap cloud ataupun yang selama ini menghantui perundingan IEU-CEPA ini bisa hilang dan dan kita bisa segera selesaikan IEU-CEPA," ucap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto seperti dikutip dari siaran pers, Jumat, 17 Januari 2025.

Menurutnya, keputusan itu dapat menjadi momen dan kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia untuk semakin memperkuat strategi implementasi agar komoditas sawit tidak mengalami diskriminasi kembali.

Adapun keputusan WTO itu merujuk dari laporan putusan panel pada 10 Januari 2025 dan menyatakan Uni Eropa telah melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang tidak adil dan merugikan bagi minyak sawit dan biofuel Indonesia. 

Airlangga mengatakan, kemenangan di WTO itu menjadi bukti apa yang telah dilakukan Indonesia dalam memperjuangkan kelapa sawit dan biodiesel berada di jalur yang benar. 

"Ini merupakan bukti Indonesia kita bisa fight dan kita bisa menang. Kemarin khusus untuk sawit, kita fight di REDD dan kita menang. Sehingga biodiesel yang sekarang kita ambil sebagai sebuah kebijakan, itu mau gak mau dunia harus menerima, bahwa tidak hanya biodiesel berbasis rapeseed, soybean, dan yang lain, tetapi juga yang berbasis daripada CPO," jelasnya. 
 

Baca juga: WTO: Uni Eropa Terbukti Diskriminasi Produk Minyak Sawit dan Biofuel Indonesia


(Kelapa sawit. Foto: dok Ditjenbun Kementan)
 

Uni Eropa diminta sesuaikan kebijakan


WTO juga berpendapat Uni Eropa tidak melakukan evaluasi yang tepat terhadap data yang digunakan untuk menetapkan biofuel yang berasal dari alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk), serta terdapat kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi risiko rendah ILUC (low ILUC-risk) dalam Renewable Energy Directive (RED) II. 

Dalam putusan WTO tersebut juga menyebutkan dalam konteks implementasi dari The French TIRIB (The Incentive Tax Relating to Incorporation Biofuels) atau insentif pajak penggunaan biofuel dalam sistem transportasi Prancis telah terbukti melakukan diskrimisasi terhadap biofuel berbasis kelapa sawit. Pihak Uni Eropa hanya menerapkan insentif pajak bagi biofuel berbasis minyak rapeseed dan soybean.

Adapun putusan tersebut akan diadopsi dalam waktu 60 hari dan akan mengikat bagi Indonesia dan Uni Eropa. Dengan demikian, Uni Eropa diminta untuk dapat menyesuaikan kebijakan dalam Delegated Regulation terkait hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan dari WTO.

Lebih lanjut, Airlangga juga menyebutkan keputusan tersebut tentu akan berdampak pada kebijakan yang diambil Uni Eropa yakni European Union Deforestation Regulation (EUDR), dimana sebelumnya Uni Eropa secara resmi mengadopsi proposal penundaan implementasi EUDR selama satu tahun hingga 30 Desember 2025 mendatang yang mengindikasi ketidaksiapan Uni Eropa.

"Keputusan WTO tersebut tentu tambahan kekuatan bagi Indonesia yang tengah berupaya menentang kebijakan EUDR. Indonesia akan terus menentang kebijakan yang bersifat diskriminatif dan tidak pro rakyat, terlebih mempertimbangkan terdapat lebih dari 41 persen penggarap kebun kelapa sawit di Indonesia merupakan pekebun rakyat," jelas Airlangga.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)