250 Ribu Karyawan Kena PHK Imbas 60 Perusahaan Tekstil Gulung Tikar

Ilustrasi PHK. Foto: Medcom.id

250 Ribu Karyawan Kena PHK Imbas 60 Perusahaan Tekstil Gulung Tikar

Insi Nantika Jelita • 18 December 2024 13:22

Jakarta: Sebanyak 250 karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) imbas dari kinerja industri tekstil di Indonesia yang mengalami penurunan yang tajam.

Data dari Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyatakan sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa gulung tikar dalam dua tahun terakhir atau dari 2022-2024.  

"Tahun ini sudah banyak pabrik yang tutup. Sebanyak 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah industri tekstil berhenti beroperasi. Akhirnya, sekitar 250 ribu karyawan mengalami PHK," ungkap Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta dilansir Media Indonesia, Rabu, 18 Desember 2024.

 
Baca juga: 

Pemerintah Bentuk Satgas PHK, Menaker: Bukan Antisipasi UMP Naik


Dalam data yang diterima Media Indonesia, pabrik tekstil yang tutup antara lain PT Alenatex yang telah melakukan PHK terhadap 700 pekerja, lalu PT Asia Citra Pratama yang telah tutup dan berhenti beroperasi.

Kemudian, PT Asia Pacific Fiber (Karawang) yang juga gulung tikar dan telah melakukan PHK kepada 2.500 karyawannya, PT Kabana juga telah tutup dan 1.200 pekerjaannya terkena PHK, PT Delta Merlin Tesktil II (Duniatex Group) telah tutup melakukan PHK kepada 924 pekerja, dan pabrik tekstil lainnya.

Redma menjelaskan penutupan perusahaan-perusahaan tekstil ini dipicu oleh meningkatnya impor ilegal yang mengalir ke pasar domestik tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah.

Saat pandemi covid-19 di 2021, ketika impor dari Tiongkok terhenti, industri tekstil Indonesia dikatakan sempat mengalami pemulihan. Namun, begitu masa karantina (lockdown) di Tiongkok berakhir dan impor dibuka kembali, barang-barang ilegal pun membanjiri pasar Tanah Air. Kondisi tersebut dianggap memperburuk kondisi industri tekstil di Indonesia.


Ilustrasi industri tekstil. Foto: Dokumen Kementerian Perindustrian
 

Berdampak pada sektor-sektor terkait


Kondisi ini juga berdampak pada sektor-sektor terkait, seperti industri petrokimia dan produksi purified terephthalic acid (PTA), yang merupakan bahan baku utama tekstil.

"Masalahnya adalah impor yang tidak terkendali. Hal ini menurunkan utilisasi industri kita dan berdampak pada sektor lain, seperti listrik dan logistik," imbuh Redma.

Industri tekstil dinilai berperan penting bagi perekonomian Indonesia, dengan kontribusi 11,73 persen terhadap konsumsi listrik sektor industri dan 5,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Namun, kata Redma, sebagian besar pasar domestik kini dipenuhi oleh barang-barang impor ilegal yang menyebabkan kerugian bagi negara, baik dari sisi pajak maupun bea masuk.

“Impor ilegal menjadi pembunuh utama bagi industri tekstil Indonesia, dengan sekitar 40 persen barang yang masuk ke Indonesia tidak tercatat secara resmi,” ujar Redma.

Pihaknya pun menyarankan agar pemerintah segera mengatasi masalah impor ilegal ini untuk menyelamatkan pasar domestik dan memungkinkan industri tekstil lokal pulih. Untuk itu, berbagai langkah harus diambil, termasuk pembatasan impor yang lebih ketat dan perbaikan sistem di pelabuhan.

"Ada kelemahan sistem di pelabuhan, terutama terkait penggunaan scanner dan data manifest import atau dokumen resmi barang impor yang tidak sinkron. Hal ini menjadi celah bagi masuknya barang ilegal," tuding Redma.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Annisa Ayu)