Gawat! Kontraksi PMI Manufaktur Bisa Berlanjut hingga Akhir Tahun

Ilustrasi. Foto: Dok istimewa

Gawat! Kontraksi PMI Manufaktur Bisa Berlanjut hingga Akhir Tahun

M Ilham Ramadhan Avisena • 4 May 2025 18:43

Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyatakan kontraksi kinerja sektor manufaktur nasional yang tercermin dari Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur April 2025 disebabkan oleh sejumlah tekanan eksternal dan domestik yang kompleks. 

Ia mengingatkan pemerintah untuk segera merealisasikan deregulasi dan stimulus ekonomi secara konsisten guna mencegah pelemahan lebih dalam.

"Kontraksi kinerja manufaktur memang secara tidak langsung dikontribusikan oleh kebijakan tarif AS dan dampaknya terhadap nilai tukar, yang menyebabkan cost push inflation di sisi impor bahan baku dan menurunkan confidence konsumsi di pasar global," ujar Shinta saat dihubungi, Minggu, 4 Mei 2025. 

Namun, menurutnya, tekanan dari luar negeri bukan satu-satunya penyebab. Penurunan permintaan di pasar domestik pascaRamadan dan Lebaran juga memberikan dampak besar terhadap perlambatan sektor manufaktur.

"Adanya koreksi dan normalisasi, atau penurunan demand pasar domestik pascaperiode Ramadan-Lebaran juga memberikan pengaruh yang besar, apalagi inflasi Maret hanya 1,03 persen (yoy), di bawah target nasional," jelas Shinta.

Ia mengatakan kondisi ini membuat pelaku usaha manufaktur kehilangan kepercayaan untuk melakukan ekspansi. "Selain beban produksi yang meningkat, demand di pasar dalam dan luar negeri juga sluggish,” ungkapnya.
 

Baca juga: 

Industri Manufaktur Dalam Negeri Hadapi Pukulan Berat



(Ilustrasi manufaktur. Foto: Dok MI)

Dampak perkembangan global dan respons pemerintah

Shinta memperkirakan kontraksi PMI bisa berlanjut hingga akhir kuartal II 2025 dan bahkan mungkin hingga akhir tahun, bergantung pada perkembangan global dan respons pemerintah terhadap tekanan eksternal.

"Selama tidak ada perbaikan signifikan dalam penguatan nilai tukar, efisiensi beban usaha, dan stimulasi investasi yang mendorong daya beli masyarakat, akan sangat sulit bagi PMI untuk kembali ke zona ekspansif," katanya.

Ia juga menanggapi rencana stimulus pemerintah dalam merespons dampak kebijakan tarif AS. Menurutnya, meski arah kebijakan berupa deregulasi sudah tepat, implementasinya sering kali lamban dan tidak konsisten.

"Berkaca pada UU Cipta Kerja, deregulasi di Indonesia kerap tidak konsisten, bahkan ada yang backtrack. Karena itu, masih terlalu dini untuk menilai dampaknya," kata Shinta.

Ia menegaskan agar pemerintah tidak menunggu hasil perundingan dengan AS sebelum merealisasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Karenanya Shinta menyerukan percepatan reformasi struktural di sektor usaha dan investasi nasional.

"Indonesia sebaiknya tidak bergantung pada hasil perundingan karena the damage has been done dan bahkan sudah mulai kita rasakan saat ini. Semakin cepat dan konsisten reformasi dilakukan melalui deregulasi, debirokratisasi, dan peningkatan efisiensi, Indonesia akan semakin berpeluang menahan perlambatan ekonomi nasional," pungkas Shinta. 

Diketahui, Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2025 yang berada di level 46,7 atau berada di fase kontraksi, yaitu di bawah poin 50 seperti hasil laporan S&P Global. 

Pelambatan PMI Manufaktur Indonesia pada April 2025 sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan April 2025 yang tercatat berada di level 51,90. Meskipun masih di dalam fase ekspansi, namun lajunya mengalami perlambatan dibandingkan bulan Maret 2025 yang sebesar 52,98 atau menurun sebesar 1,08 poin. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, nilai IKI April 2025 juga mengalami koreksi sebesar 0,40 poin.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)