Setumpuk Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia, Mulai dari Upah hingga Pengangguran

Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Setumpuk Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia, Mulai dari Upah hingga Pengangguran

M Ilham Ramadhan Avisena • 29 April 2025 19:00

Jakarta: Sektor ketenagakerjaan di Indonesia disebut masih menghadapi setumpuk masalah yang belum mampu ditangani oleh pemangku kepentingan. Salah satu permasalahan mendasar yang masih belum bisa diurai ialah terkait dengan tingkat upah riil tenaga kerja yang cukup rendah.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan, tingkat upah riil di Indonesia sejatinya mengalami penurunan tajam dan memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibanding era prapandemi covid-19.

"Penyebab utama karena formulasi upah dalam UU Cipta Kerja terlalu rendah dibandingkan kenaikan pengeluaran yang ditanggung. Artinya, buruh harus bertahan hidup dengan berhemat, meminjam uang atau menggadaikan asetnya seperti rumah, kendaraan bermotor, dan lainnya. Upah riil yang terlalu rendah juga sebabkan pertumbuhan ekonomi melambat," kata Bhima melalui keterangan tertulis, Selasa, 29 April 2025.

Selain soal upah, permasalahan ketenagakerjaan lainnya ialah masih terjadinya diskriminasi usia pada pelamar kerja. Lowongan kerja di Tanah Air umumnya membatasi usia pelamar 25 tahun hingga 31 tahun, menyebabkan sulitnya para korban PHK kembali bekerja di sektor formal.

Regulasi di Indonesia dianggap membiarkan perusahaan melakukan diskriminasi, berbeda dengan negara Asean lain seperti di Thailand dan Vietnam yang menerapkan peraturan anti-diskriminasi usia pelamar kerja. "Harapannya revisi UU Ketenagakerjaan dapat mengakomodir pasal spesifik soal anti-diskriminasi usia pelamar kerja," terang Bhima.

Di samping itu, pekerja tetap banyak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), sementara perusahaan cenderung menggantikan pekerja tetap dengan magang, outsourcing, dan pekerja kontrak.

Perusahaan, kata Bhima, beralasan menekan biaya tenaga kerja, namun sebenarnya sebagian perusahaan menghindar dari tanggung jawab hak pekerja tetap. "Situasi ini juga mengonfirmasi bahwa perekonomian sedang memburuk sehingga perusahaan terus menurunkan jumlah pekerja tetapnya," kata dia.
 

Baca juga: Kecelakaan Kerja Terus Meningkat, DPR Dorong Revisi Regulasi dan Penguatan Pengawasan


(Ilustrasi PHK. Foto: dok Metrotvnews.com)
 

Banyak perusahaan tak bayar pesangon


Selain itu, banyak perusahaan tidak membayar pesangon dan sisa gaji para karyawan yang di-PHK. Lemahnya pendataan tenaga kerja dan penegakan sanksi bagi perusahaan jadi masalah utama.

Karenanya, Satgas PHK diharapkan melakukan pendataan para korban PHK, baik sektor formal dan informal secara akurat. Data tersebut dapat dijadikan landasan untuk pemenuhan hak korban PHK.

Masalah lainnya adalah kian masifnya pekerja yang terlibat di sektor informal gig-economy seperti ojol dan kurir karena keterbatasan lapangan kerja di sektor formal. Sekitar 58 persen pekerjaan di Indonesia adalah sektor informal, menimbulkan kerentanan kerja, tidak adanya jenjang karier dan jam kerja yang terlalu tinggi.

Lebih lanjut, persaingan tenaga kerja makin ketat dan belum ada solusi nyata dari pemerintah. Keberadaan Danantara masih belum terlihat mampu memecahkan masalah sempitnya lapangan kerja di sektor formal.

"Belum ada paket kebijakan yang dikeluarkan untuk meredam gejolak PHK. Sementara Satgas PHK tidak bersifat preventif," jelas Bhima.

Kemudian pengangguran usia muda di Indonesia berumur 15 tahun sampai 24 tahun mencapai 17,3 persen, tertinggi di ASEAN. Sementara angkatan kerja baru bertambah 4,4 juta orang sepanjang 2024. Angkatan kerja baru ini bersaing dengan para korban PHK.

"Efek perang dagang AS menciptakan risiko bertambahnya jumlah PHK di sektor padat karya. Hasil modelling Celios menghitung penurunan output ekonomi karena tarif resiprokal hingga Rp164 triliun, sementara lapangan kerja turun 1,2 juta orang pada 2025," papar Bhima.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)