Daftar Kewenangan Bermasalah di Revisi UU Kejaksaan

Ilustrasi. Foto: Medcom

Daftar Kewenangan Bermasalah di Revisi UU Kejaksaan

Siti Yona Hukmana • 21 March 2025 12:43

Jakarta: Sejumlah pakar dan praktisi hukum menyoroti penambahan kewenangan yang bermasalah dalam revisi Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Salah satunya, fungsi kewenangan intelijen bagi Kejaksaan Agung (Kejagung).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Valerianus Beatae Jehanu, menyoroti peran jaksa yang bisa mengawasi ruang media. Terlebih, dalam revisi UU Kejaksaan tidak diatur fungsi pengawasan multimedia itu hanya bisa dilakukan dalam konteks pro justicia atau tidak.

"Fungsi Intelijen Kejaksaan dalam penegakan hukum ini keliru karena harusnya hanya bisa dalam hal pro justicia," kata Valerianus dalam keterangan tertulis, Jumat, 21 Maret 2025.

Kemudian, ia menyoroti masih lemahnya fungsi pengawasan terhadap Korps Adhyaksa dalam revisi UU Kejaksaan. Menurut dia, kondisi itu rentan menimbulkan potensi impunitas bagi jaksa. 

Ia mencontohkan salah satunya terkait frasa pemeriksaan terhadap anggota Korps Adhyaksa, hanya bisa dilakukan jika ada persetujuan dari Jaksa Agung. "Kontrol Kejaksaan semakin lemah karena memiliki imunitas, yaitu jaksa hanya bisa dipanggil dan diperiksa atas izin Jaksa Agung," ungkap dia.

Sementara itu, Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure Awan Puryadi mengatakan penambahan kewenangan baru bagi jaksa dalam revisi itu untuk melakukan penelusuran, perampasan, dan pengembalian asset tindak pidana melalui pembentukan Badan Pemulihan Aset. Namun, penambahan kewenangan baru itu tidak diikuti dengan penguatan pengawasan. Padahal, kata dia, belum lama ini ada jaksa yang terjerat korupsi terkait hasil rampasan aset di kasus robot trading.
 

Baca juga: 

Komisi III Siap Bahas Revisi UU Polri-Kejaksaan


Awan juga menyoroti penambahan fungsi intelijen bagi Kejaksaan. Menurut dia, penambahan kewenangan itu sangat berbahaya dalam konteks penegakan hukum dan demokrasi.

Ia khawatir kewenangan itu disalahgunakan jaksa untuk memanggil pihak-pihak tertentu tanpa proses penyelidikan. Sementara itu, langkah tersebut itu tidak akan bisa digugat ke praperadilan lantaran bukan dalam proses penegakan hukum.

"Pernah kejadian, sebanyak 43 guru honorer yang jadi PNS diundang oleh kejaksaan Padang Sidempuan karena diduga ada informasi korupsi. Bupati, tiba-tiba dipanggil hanya berdasarkan informasi. Bisa jadi seperti itu," kata Awan.

Awan juga menyoroti kewenangan penghentian kasus di luar proses pengadilan atau Restorative Justice (RJ). Tanpa ada pengawasan yang jelas, ia khawatir kewenangan itu justru disalahgunakan untuk memainkan kasus.

"Bisa jadi, Kejaksaan mengulik kasus, kemudian dengan alasan tertentu diberhentikan dengan alasan RJ. Lalu bagaimana dengan kasus illegal mining, misalnya, kemudian dihentikan dengan alasan RJ," sebut dia..

Di sisi lain, Awan mengkritik definisi Kejaksaan dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 yang tidak diubah. Dalam UU tersebut, definisi Kejaksaan melampaui pembagian kekuasaan yaitu Lembaga Pemerintah (eksekutif) yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif).

"Kekuasaan Kehakiman itu independen dan berada di yudikatif. Sementara, Kejaksaan itu Lembaga Pemerintah yang ada di kekuasaan eksekutif. Ini yang keliru dan berbahaya bagi demokrasi dan sistem hukum kita," ujar dia.

Kondisi itu menurutnya juga bisa menimbulkan imunitas bagi anggota kejaksaan. Ia mencontohkan dalam kasus Pinangki, Jaksa Agung pernah mengeluarkan peraturan untuk memberikan pendampingan hukum karena dianggap sedang melaksanakan tugas kejaksaan.

"Dalam UU Kejaksaan Tahun 2021, imunitas langsung legal, sah. Harusnya imunitas ini diberikan oleh yudikatif. Ini problem karena kejaksaan memberikan imunitas pada dirinya sendiri," ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)