Bendera Palestina berdiri tegak di Gaza. Foto: Anadolu
Betlehem: Seorang pemimpin gereja Palestina memperingatkan bahwa komunitas Kristen di Tepi Barat dan Jalur Gaza berada di ambang kepunahan, seiring meningkatnya agresi militer Israel yang berlangsung tanpa henti.
Pendeta Munther Isaac dari Gereja Lutheran Injili di Betlehem dan Beit Sahour menyatakan bahwa perayaan Paskah di tanah Palestina kembali berlangsung dalam suasana duka akibat kekerasan yang terus berlangsung di Gaza. Ia menyebut serangan Israel telah menciptakan kondisi genosida yang mengancam keberlangsungan komunitas Kristen di wilayah tersebut.
“Untuk tahun kedua berturut-turut, kami merayakan Paskah dalam bayang-bayang genosida terhadap rakyat Gaza,” ungkap Isaac, seperti dilansir Anadolu, Selasa 22 April 2025.
Menurutnya, rakyat Palestina saat ini masih menderita akibat blokade Israel, kebijakan segregasi, dan penindasan struktural yang menyelimuti seluruh aspek kehidupan mereka.
“Kekerasan yang menewaskan Kristus masih terus terjadi di tanah kami. Masyarakat Gaza dan gereja di sana merayakan hari suci ini dalam harapan agar perang segera berakhir, terang mengalahkan kegelapan, dan kebenaran menundukkan kebohongan. Namun mereka menjalani hari-hari yang paling sulit, tanpa makanan, tanpa obat, dan dalam cengkeraman blokade Israel yang menyesakkan,” imbuh Isaac.
Pembatasan ibadah
Di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, umat Kristen juga tidak dapat merayakan Paskah secara meriah. Akses menuju Gereja Makam Kudus di Yerusalem dibatasi oleh otoritas Israel, yang menurut Isaac merupakan bagian dari strategi untuk memperkuat kendali atas situs-situs suci dan kota suci tersebut.
“Kami ingin berziarah ke Yerusalem, tapi selalu dihadapkan pada kendala perizinan dari pihak pendudukan. Padahal Betlehem dan Yerusalem adalah dua kota kembar yang tak seharusnya dipisahkan. Kami hidup dalam ketakutan luar biasa menyaksikan kehancuran di Gaza, sementara dunia Arab dan komunitas internasional memilih bungkam,” tutur Isaac.
Isaac juga menyoroti praktik pembatasan jumlah jemaat yang diperbolehkan masuk ke Gereja Makam Kudus, yang menurutnya bertujuan mengikis eksistensi umat Kristen di kota itu.
“Kami tidak bisa menghadiri ibadah Sabtu Suci karena pembatasan ini. Semua ini menimbulkan kesedihan mendalam, karena Yerusalem adalah bagian dari warisan iman kami yang seharusnya terbuka bagi semua,” jelas pendeta itu.
Kepunahan yang mengancam
Kondisi yang semakin mencekam memicu gelombang eksodus umat Kristen dari Palestina, terutama setelah eskalasi militer di Gaza. Isaac mengatakan bahwa tekanan ekonomi, titik-titik pemeriksaan militer, dan pelecehan yang terus-menerus mempercepat migrasi warga.
“Kami sudah menjadi kelompok minoritas. Sekarang, eksodus besar-besaran benar-benar sedang terjadi. Setelah genosida, jumlahnya meningkat drastis. Situasi ekonomi pun memperburuk keadaan,” ujar Isaac.
Isaac juga memperingatkan bahwa hampir seluruh rumah umat Kristen di Gaza telah hancur atau mengalami kerusakan parah. Ia menyatakan bahwa selama agresi, tidak ada satu pun tempat baik gereja, masjid, maupun rumah sakit yang bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat sipil.
“Pesannya jelas: tak ada tempat aman di Gaza. Ini adalah bagian dari rencana pemusnahan etnis. Bila situasi ini berlanjut, saya khawatir seluruh generasi muda kami akan kehilangan masa depannya,” kata dia.
Krisis kemanusiaan yang kian memburuk
Hanya sekitar 1.000 umat Kristen yang masih tinggal di Gaza dari total populasi lebih dari dua juta jiwa. Mayoritas berasal dari Gereja Ortodoks Yunani, sementara sisanya tergabung dalam Gereja Katolik Latin.
Pada Oktober 2023, serangan udara Israel menghantam Gereja Saint Porphyrius di Gaza, menewaskan sedikitnya 18 warga sipil yang sedang mengungsi di dalam gereja tersebut. Insiden itu menjadi simbol dari meluasnya kehancuran yang kini dialami masyarakat Kristen di Gaza.
“Israel tidak lagi menghormati batas-batas kemanusiaan. Mereka mengebom rumah sakit, rumah ibadah, dan tempat penampungan. Ini adalah upaya sistematis untuk memusnahkan kehidupan, memaksa orang meninggalkan Gaza demi kelangsungan hidup,” tegas Isaac.
Lebih dari 51.200 warga Palestina telah tewas sejak dimulainya operasi militer Israel di Gaza pada Oktober 2023, sebagian besar merupakan perempuan dan anak-anak.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel juga sedang menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas tindakannya di Jalur Gaza.
(Muhammad Reyhansyah)