Impor Merosot Jadi Sinyal Indonesia Alami Perlambatan Industri

Aktivitas perdagangan. Foto: dok MI.

Impor Merosot Jadi Sinyal Indonesia Alami Perlambatan Industri

Insi Nantika Jelita • 17 February 2025 17:37

Jakarta: Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai penurunan impor Indonesia memberikan sinyal pelemahan industri manufaktur.
 
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia pada Januari 2025 mencapai USD18 miliar atau sekitar Rp291,816 triliun (kurs Rp16.212). Angka ini anjlok 15,18 persen secara month to month (mtm) dibandingkan Desember 2024 dan turun 2,67 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan Januari 2024.
 
"Penurunan impor mengindikasikan lemahnya permintaan domestik, yang bisa mencerminkan perlambatan aktivitas industri dan konsumsi," ujar Rizal kepada Media Indonesia, Senin, 17 Februari 2025.

Rizal menegaskan sektor manufaktur di dalam negeri belum sepenuhnya pulih. Ini terlihat dari penurunan nilai impor barang konsumsi dan impor bahan bahan baku/penolong pada bulan lalu.

"Ada sinyal sektor manufaktur belum menunjukkan pemulihan yang kuat, sekaligus menyoroti ketergantungan Indonesia pada bahan baku impor untuk proses produksi," ucap dia.


(Aktivitas perdagangan internasional. Foto: Medcom.id)

Selain masalah penurunan impor, ekspor Indonesia juga mengalami penyusutan. Rizal mengatakan faktor eksternal seperti ketegangan geopolitik dan kebijakan moneter ketat di negara maju memang memberikan berkontribusi terhadap tekanan ekonomi. Kendati demikian, tantangan internal seperti rendahnya nilai tambah ekspor dan kurangnya diversifikasi produk dianggap turut memperparah situasi.

"Penurunan ekspor komoditas utama seperti batu bara, minyak sawit, dan nikel menggarisbawahi kelemahan fundamental ekonomi yang terlalu bergantung pada sektor primer," imbuhnya.

Ke depan, pemerintah diminta lebih fokus pada transformasi ekonomi, mendorong hilirisasi yang nyata, dan memperkuat daya saing produk-produk manufaktur. Jika tidak, kata Rizal, surplus perdagangan yang tercipta hanya bersifat semu. Hal ini lebih disebabkan oleh pelemahan impor daripada peningkatan kinerja ekspor yang berkelanjutan.

Pada Januari 2025, neraca perdagangan mencatat surplus sebesar USD3,45 miliar atau senilai Rp55,81 triliun (kurs Rp16.212). Angka ini naik sebesar USD1,21 miliar secara bulanan.
 

Baca juga: Nilai Impor Indonesia Terjun Bebas hingga 15%, BPS: Januari Kebanyakan Libur
 

Mitra dagang alami perlambatan ekonomi


Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menyebut sejumlah mitra dagang utama Indonesia masih menunjukan prospek perlambatan ekonomi. Sehingga, ada risiko permintaan negara mitra dagang bakal relatif melemah ke depannya.

"Kalau kita lihat prospek ekonomi Amerika Serikat ada potensi melambat. India juga dari waktu ke waktu semakin melemah. Artinya, potensi pelemahan global itu mempengaruhi prospek daripada ekspor kita," ucapnya.

Faisal juga menyoroti defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok. Defisit dagang itu lantaran impor Indonesia dari Negeri Tirai Bambu lebih besar ketimbang ekspor ke Tiongkok. BPS mencatat defisit dagang Indonesia dengan Tiongkok mencapai USD1,77 miliar.

"Kita tahu secara permintaan dengan Tiongkok itu sudah rendah pada saat sekarang, meski ada oversupply," tutur dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)