Kebijakan Kemasan Rokok Polos Dinilai Hanya Tinjau Sisi Kesehatan Tanpa Pertimbangkan Aspek Lain

Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay (Foto:Dok.Metro TV)

Kebijakan Kemasan Rokok Polos Dinilai Hanya Tinjau Sisi Kesehatan Tanpa Pertimbangkan Aspek Lain

Patrick Pinaria • 30 September 2024 17:43

Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana membuat Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait kemasan rokok. Dalam RPMK tersebut, Kemenkes ingin mengatur kebijakan pada kemasan rokok agar polos dan seragam.
 
RPMK ini merupakan turunan dari PP Nomor 28 Tahun 2024. Adapun tujuan Kemenkes merancang kebijakan kemasan rokok tak lain untuk pengendalian terhadap rokok dan zat adiktif lainnya.
 
"Kami tidak melarang orang merokok. Orang tetap boleh merokok karena merokok adalah hak dari masing-masing," ujar Kabiro Komunikasi & Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi.
 
Namun, sayangnya kebijakan ini ternyata menimbulkan polemik. Aturan ini bahkan menjadi sorotan karena dianggap bisa menimbulkan kerugian bagi industri rokok sehingga berdampak pula pada sektor ekonomi negara.
 
Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mencoba angkat bicara mengenai polemik RPMK ini. Ia mengatakan pembuatan RPMK ini sebetulnya sudah melewati proses cukup panjang. Bahkan, sudah masuk dalam tahap pembahasan bersama DPR.
 

Baca juga: Kebijakan Rokok Tanpa Merek Bikin Produk Ilegal Makin Marak

"Ini bermula dari pembahasan Undang-undang Kesehatan Nomor 17 tahun 2023. Jadi ketika kita membahas rokok ini sebetulnya kami pending-pending ini agak lama. Karena kita ingin agar ini masuk ke tengah semua. Artinya jangan sampai pengusaha rugi, jangan pula orang aktivis kesehatan merasa dirugikan," ujar Saleh dalam tayangan Hot Room di Metro TV, Rabu, 25 September 2024.

Sayangnya, Kemenkes selaku inisiator dinilai tidak mendengar aspirasi dari pihak terkait dan hanya fokus pada sisi kesehatan. Kabiro Komunikasi & Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi yang hadir pada tayangan yang sama menuturkan bahwa peraturan ini fokus pada pengendalian rokok dan zat adiktif lainnya.
 
“Kami dengarkan semua, tapi tidak semua kami akomodir,” tutur Siti.

Saleh menambahkan salah satu yang membuat RPMK ini cukup lama dan sampai harus tertunda lantaran pihak Kementerian Kesehatan juga sulit menjabarkan detail.
 
"Maka pada pada titik temu maka di dalam undang-undang itu sudah ada. Cuma ketika kita mau membuat detail di dalam undang-undang itu kan pihak Kementerian Kesehatan tidak mau detail di dalam undang-undang. Sebab mereka ingin mengaturnya dalam peraturan pemerintah," lanjutnya.
 
"Sementara kita waktu itu belum percaya kalau di aturan pemerintahnya itu akan sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh teman-teman dalam pembuatan undang-undang itu karena undang-undang kan dibuat bersama pemerintah," tutur Saleh.
 
Baca juga: Penjelasan Kemenkes Terkait Kebijakan Rokok Tanpa Merek

Saleh pun menilai polemik dalam RPMK ini tak lepas dari tujuan pembuatannya yang hanya memikirkan dari sisi kesehatan. Namun, lupa terhadap aspek lain, terutama aspek bisnis.
 
"Sebetulnya karena undang-undang itu kan tidak detail sehingga tafsir untuk membuat peraturan pemerintah lebih terbuka. Jadi mereka buat sesuai dengan apa yang ada di dalam pikiran-pikiran Kementerian Kesehatan saja. Sementara dari aspek atau bisnis dan seterusnya itu mungkin dilupakan," jelas Saleh.
 
Padahal, aspek kesehatan dan bisnis seharusnya saling berdampingan. Hal ini tercermin dari anggaran dari cukai rokok yang juga berkontribusi terhadap BPJS Kesehatan.
 
"Ingat kalau ada Rp213 triliun anggaran yang diperoleh dari cukai rokok, sementara anggaran untuk Kementerian Kesehatan saja untuk tahun 2025 itu hanya sekitar Rp90 triliun, termasuk BPJS Kesehatan di antaranya itu Rp45 triliun. Makanya besar kontribusinya. Rp45 triliun untuk BPJS Kesehatan sisanya untuk anggaran kementerian kesehatan se-Indonesia. Berarti Rp90 triliun besar dari Rp213 triliun," katanya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Rosa Anggreati)